Bab 3 - Awal perjumpaan

29 2 0
                                    

"Semua bahan sudah siap. Jadi, tinggal pulang aja. Abi hari ini bakal pulang telat. Lebih baik aku cari angin dulu deh. Lama juga nggak keluar," ucap Rania dengan membenarkan posisi jilbabnya.

Kakinya perlahan melangkah meninggalkan super market tersebut. Di tangan sudah ada dua kantong belanjaan begitu penuh. Semua adalah keperluan bahan kue. Menurut perintah dari ibu tirinya akan ada tamu spesial yang datang ke rumah. Rania ditugaskan untuk membuat kue spesial tersebut.

Rania mewarisi seluruh gen dari uminya yang begitu pandai memasak. Bahkan dia juga memiliki usaha makanan beku dan setengah jadi. Meski sudah mendapatkan uang jajan dari Adam tak membuat Rania hanya ongkang-ongkang kaki di rumah. Dia malah bingung sendiri ingin membuka usaha apa. Dan terbesit untuk memproduksi makanan setengah jadi dan juga makanan beku.

Dengan berbalut gamis berwarna biru muda dan hijab berwarna hitam, membuat penampilan Rania begitu manis. Meski Adam tak mengharuskan untuk memakai hijab, tapi semua yang dilakukan Rania adalah murni dari tuntutan hatinya. Dia ingin menyempurnakan penampilannya meski terkadang ada salah sikap dan perbuatan yang masih sering dilakukan.

"Abi hari ini aku belikan apa ya? Biasanya abi suka sekali dengan roti goreng. Aku belikan saja atau aku buatkan ya? Ah iya, aku rasa lebih baik mampir ke toko. Lama tidak mengunjungi Mbak Mirna dan Mbak Sofi di sana. Mumpung satu arah ada baiknya aku sekalian mampir," ucap Rania dengan tersenyum.

Perlahan Rania juga membuka toko menjual makanan produksi perusahaannya. Selain terjual online dan distribusi ke beberapa anak cabang di berbagai daerah. Rania juga membuka toko offline untuk yang ingin membeli produknya di sekitar daerahnya. Apa pun Rania lakukan asal tidak merugikan orang lain, terlebih itu adalah abinya sendiri.

"Semoga saja bulan depan pendapatan bisa bertambah. Jadi, aku tidak terlalu merepotkan abi. Rasanya tidak enak masih menerima uang dari abi. Padahal aku sudah memiliki penghasilan sendiri tapi abi masih saja memberiku uang."

Tiba-tiba tak sengaja laki-laki yang berjalan begitu tergesa-gesa itu menabrak bahu Rania hingga belanjaannya terjatuh.

"Astagfirullah," ucap Rania.

Dia terjatuh lalu perlahan mengambil satu persatu barangnya yang berserakan di lantai. Tak disangka laki-laki itu turut membantunya. Saat Rania mengangkat kepalanya tanpa sengaja tatapan mereka bertemu.

"Astagfirullah."

Rania memalingkan wajahnya segera. Dia berusaha berdiri lalu menerima beberapa barang yang berhasil diambil laki-laki tersebut.

"Maaf ya, Kak. Ada yang sakit?"

Rania menjawab dengan gelengan kepalanya.

"Ini barangnya. Maaf ya. Saya salah terlalu fokus pada jalan," lanjut laki-laki tersebut.

"Iya, tidak papa."

Rania merapikan kembali barang belanjaannya. Dia tak bisa terlalu lama di tempat itu bersama orang yang tidak dikenali. Terlebih itu adalah laki-laki.

"Cantik," guman laki-laki tersebut tanpa dia sadari.

"Aksa!" pekik perempuan yang berada di depan mereka.

"Kamu ngapain sih di sana? Senyam-senyum sama perempuan lain," lanjut perempuan itu dengan mendekati laki-laki tersebut.

Jilbab Rania ditarik begitu kuat hingga ia mengadu kesakitan. Dia takut jika sampai penutup kepalanya terlepas dari tempatnya. Maka aurat yang selama ini dia jaga begitu hati-hati bisa saja dilihat oleh khalayak umum. Rania tidak mau hal itu terjadi.

"Astagfirullah, Mbak. Apa salah saya?" tanya Rania dengan lembut.

"Dasar ganjen! Mbak kamu itu sudah berhijab masih aja godain pacar aku. Nggak malu sama jilbab panjangnya, Mbak."

Laki-laki itu tersenyum kikuk dengan memegang lengan perempuan yang memiliki rambut pirang tersebut. Rania menyimpulkan jika keduanya adalah pasangan kekasih.

"Maaf sebelumnya, Mbak. Tapi saya tidak menggoda mas ini. Dia hanya membantu saya mengambil barang-barang yang terjatuh. Tidak sengaja mas ini menabrak saya."

"Alah nggak usah alasan deh, Mbak. Kamu suka kan sama pacar saya ini?" hardik perempuan itu dengan menunjuk ke arah Rania.

"Astagfirullah, Mbak. Saya tidak bermaksud demikian. Barang saya terjatuh dan dibantu oleh mas ini," jelas Rania kembali.

"Rachel, udah dong. Malu dilihatin orang. Apa yang mbak ini bilang bener. Aku yang nggak sengaja nabrak terus barangnya jatuh. Inisiatif aku bantu buat ambil," jelas laki-laki tersebut dengan menarik lengan perempuan rambut pirang itu menjauh.

"Maaf ya, Mbak. Kamu permisi."

Rania mengangguk dengan tersenyum tipis. Dia menggelengkan kepalanya perlahan. Tidak hanya satu atau dua kali dia menerima bentakan atau pun hinaan dari orang lain. Bahkan itu adalah makanannya setiap hari di rumah. Ibu dan kakak tirinya tak mungkin membiarkan dirinya berada dalam keadaan santai. Jika tak ada abinya di rumah maka kedua wanita itu akan berbuat semena-mena ke dirinya.

"Sabar ya, Rania. Kamu memang diuji terus setiap harinya. Semoga nanti mendapatkan suami yang baik dan menjaga kamu sepenuh hati. Allah maha baik pasti akan memberikan yang paling terbaik untuk hambanya. Aku yakin Allah tidak mungkin pernah menguji hambanya melebihi batas kemampuan," monolog Rania.

Di rumah terasa seperti seorang pembantu. Bahkan apa pun yang dilakukan Rania terasa salah di mata kakak dan ibunya tiri. Jika lautan sabar Rania tidak luas sudah dari dulu dia akan pergi dari rumah. Yang dia pikirkan adalah kondisi abinya. Dia tak mau sampai Adam kenapa-napa bila berada di rumah itu bersama kakak dan ibunya tiri. Meski sudah menjadi seorang istri dan anak, tidak menutup kemungkinan untuk berbuat jahat. Rania takut hal itu terjadi.

"Semoga saja setelah ini ada pelangi yang menjadi buah hasil. Ya Allah lapangkan rasa sabarku lebih luas lagi. Aku tidak ingin sampai terpancing emosi oleh ucapan orang-orang yang berada di sekitarku."

Hari ini dia mengendarai mobil peninggalan sang mendiang uminya. Mobil kesayangan milik uminya. Meski sudah berumur tapi Rania tetap sayang dan menjaga dengan sepenuh hati. Barang berharga milik almarhumah yang masih ada sampai saat ini. Menemani seluruh proses panjang yang pernah Rania lalui. Susah dan senang dia lalui bersama mobil tersebut.

"Umi di sana sudah tenang dan bahagia. Rania di sini pun begitu. Bahagia bersama orang-orang yang suka mau pun tak suka dengan kehadiran Rania. Umi, jujur Rania kangen sekali dengan umi. Rania di sini kemana-mana selalu sendiri, dulu selalu bersama umi."

Helaan napas kasar terdengar dari bibir Rania. Dia memang lebih suka memendam pikirannya sendirian. Dan meluapkan dengan monolog sambil berjalan. Tak ada tempat untuknya bercerita selain Allah. Rania tidak begitu percaya dengan manusia akan bisa menjaga rahasianya. Lebih baik langsung ke Sang Pencipta langit dan bumi yang akan dicarikan solusi paling terbaik.

"Allah selalu memiliki rencana terbaik, Rania."

Istri Yang (Tak) Diharapkan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang