BAB 5 - PERJANJIAN

40 3 0
                                    

"Aku sudah punya pacar," ucap laki-laki yang tengah berkacak pinggang sambil menatap perempuan itu tajam.

"Asal kamu tahu aku menerima perjodohan ini karena tidak ingin tercoret dari daftar keluarga. Aku tidak ingin kehilangan warisan," lanjutnya tanpa beban.

Perempuan itu, Rania. Dia hanya mampu diam dan menundukkan kepalanya. Mendengarkan apa pun yang diucapkan laki-laki tersebut pada dirinya.

"Aku juga ingin mengajukan perjanjian kontrak pernikahan, Rania. Setelah semuanya yang aku dapatkan tercapai maka kita akan bercerai."

"Kenapa? Kenapa harus pernikahan kontrak, Mas? Saya tidak ingin mempermainkan ikatan suci. Pernikahan adalah janji sehidup semati di hadapan Allah. Saya tidak bisa," jawab Rania dengan menggelengkan kepala.

Aksa berdecak kesal. Perempuan di depannya ini begitu sulit diatur sesuai apa yang dia inginkan. Meski sudah terikat pernikahan tapi jiwa bebas yang dimiliki Aksa akan tetap liar. Tidak bisa dibatasi oleh apa pun.

"Aku tidak peduli, Rania. Yang jelas setelah semua terlaksana kita cerai. Aku akan menikahi pacarku. Dia yang aku sayang dan aku cintai. Perlu kamu tahu pernikahan kita ini tidak berlandaskan cinta. Aku tidak yakin akan bertahan lama," sindir Aksa.

"Pernikahan tidak bisa dipermainkan, Mas. Saya ingin hanya satu kali menikah dalam seumur hidup. Perceraian adalah hal yang paling dibenci oleh Allah."

Aksa tersenyum miring dengan berkata, "Aku tidak peduli, Rania. Selama pernikahan kita akan tinggal di rumahku. Kamu mau menjalankan kewajiban sebagai seorang istri atau tidak itu adalah urusanmu. Dan aku... akan melakukan hal apa pun sesuai kesenangan hatiku. Urusanmu adalah urusanmu dan urusanku adalah urusanku. Baik aku atau kamu tidak boleh ikut campur."

"Saya akan menjalankan kewajiban sebagai seorang istri, Mas. Pernikahan untuk saya bukan hal permainan."

"Aku tidak peduli, Rania. Bagiku kesenangan adalah hal utama yang perlu aku lakukan. Aku tidak suka diatur dan dikekang oleh orang lain termasuk kamu," tegas Aksa.

Rania melirik selembar kertas yang Aksa sodorkan kepadanya. Surat perjanjian pernikahan mereka berdua. Hatinya terasa sakit. Dia ingin memiliki keluarga utuh dan harmonis seperti yang dia idamkan selama ini.

Surat perjanjian itu hanya memberatkan untuknya dan menguntungkan untuk pihak Aksa. Dia tidak ingin melakukan perjanjian seperti ini. Sama saja dia membiarkan suaminya berada di jalan sesat.

"Saya tidak akan tanda tangan, Mas."

"Surat ini mau atau tidak kamu tanda tangani akan tetap berjalan sesuai harapanku, Rania. Aku tetap menjalani kehidupan sebelum menikah denganmu. Bersenang-senang, pacaran, pergi ke kelab, pulang malam, mabuk. Semua masih akan tetap aku lakukan. Kamu tidak usah peduli karena ini adalah urusanku," ucap Aksa.

"Astagfirullah, Mas!"

Aksa menaikkan alisnya satu sisi. "Kenapa kamu terkejut, Rania? Ada yang salah? Aku tidak suka diatur. Dan untuk masalah ini kamu tidak ada hak untuk mengatur," sahut Aksa.

Rania mengangkat wajahnya dengan menjawab, "Saya memiliki hak untuk melarang kamu, Mas. Nanti posisi saya adalah istri kamu. Jika yang kamu lakukan salah sudah sepantasnya saya akan menegur dan mengarahkan ke jalan yang benar. Tidak mungkin kamu masuk ke jurang saya biarkan saja."

"Lawak! Kamu bukan istriku, Rania. Itu hanya status belaka. Baik aku dan kamu itu hanya memiliki status pasangan suami istri di hitam atas putih. Bukan di dunia nyata. Jika di realita antara kamu itu adalah dua orang asing yang tidak sengaja tinggal satu atap. Aku tidak akan mengusik hidupmu, begitu juga sebaliknya. Adil bukan?"

Rania menggelengkan kepalanya sambil mengusap air mata yang berhasil luruh ke pipi. Dia tak ingin menjalani pernikahan yang begitu sulit seperti ini. Baginya pernikahan adalah ikatan sakral yang tak bisa dipermainkan.

"Tidak seperti ini, Mas. Saya tidak ingin menjalani hubungan yang seperti ini," lirih Rania.

"Lalu? Apa aku peduli? Tentu saja, tidak!"

"Mau tidak mau antara kamu dan aku tidak memiliki hubungan apa pun. Tenang saja untuk masalah uang akan aku transfer setiap minggu. Asal kamu menurut seperti apa yang aku inginkan. Jangan banyak tingkah," lanjut Aksa.

"Saya tidak membutuhkan uangmu, Mas."

Aksa menyunggingkan senyuman miring. "Ternyata kamu sombong juga. Aku tidak ingin kamu mencampuri urusan pribadiku, Rania. Kita adalah orang asing."

Rania kekeh menggelengkan kepala sebagai jawaban. Dia tak mungkin membiarkan Aksa tetap berada di jalan yang salah. Meski belum ada benih cinta yang tumbuh di antara mereka. Tetapi semua hal dilakukan Rania karena peduli dengan Aksa.

"Oh iya, meski menikah tapi aku masih menjalin hubungan dengan Rachel. Pasti kamu masih ingat dengan perempuan di mall itu? Dia adalah pacarku. Sampai kapan pun aku tidak akan putus dengannya. Dan untuk hari libur aku akan tinggal bersama dia," ucap Aksa.

"Aku tidak butuh ceramah dari kamu. Setidaknya kamu sudah tahu garis besar dari pernikahan kita, Rania. Kamu bawa surat itu. Karena aku sudah membawa yang lain. Tanda tangan atau tidak perjanjian ini akan berjalan sesuai mestinya," lanjut Aksa.

Tanpa sepatah kata perpisahan Aksa meninggalkan Rania yang masih merenung. Banyak hal yang memenuhi pikiran Rania. Pernikahan idamannya akan segera pupus. Tidak pernah terwujud jika sifat Aksa begitu keras kepala.

"Astagfirullah. Ya Allah kuatkan aku. Luaskan sabarku untuk menghadapi Mas Aksa. Belum menikah saja sudah seperti ini. Apalagi jika kami menikah? Aku tidak bisa membayangkan," desis Rania dengan menghela napas kasar.

Dia melirik ke kertas yang masih tertata rapi di tempat semula. Aksa benar-benar tak ingin menikah dengan dirinya. Bagi laki-laki itu Rania adalah sebuah jembatan saja untuk mendapatkan hak yang diinginkan.

1. Tetap menjalankan kehidupan seperti sebelum pernikahan.

"Mana mungkin aku bisa, Mas? Jelas aku tidak bisa melihat kamu malah bermesraan dengan orang lain yang bukan mahramnya. Kamu berbuat dosa, Mas. Aku adalah istrimu dan bertugas mengingatkan jika kamu salah. Jika aku membiarkan, berarti aku ikut dosa."

Semakin dibaca rasa hati Rania semakin sesak. Perjanjian itu berada di pihak Aksa bukan dirinya.

2. Jika Aksa ingin berduaan dengan Rachel di rumah, Rania tidak boleh ganggu.

"Astagfirullah, Mas. Apalagi ini? Bagaimana bisa kamu menulis perkara seperti ini?"

Helaan napas kasar terdengar beberapa kali dari Rania. Rasanya hati teriris membaca satu persatu perjanjian yang Aksa tuliskan.

"Aku tidak papa tidak mendapatkan nafkah uangmu, asal kamu bisa menerima aku apa adanya. Masalah uang aku tidak pernah merasa kurang. Alhamdulillah, aku masih ada tabungan. Tapi, untuk kamu masih bersama pacarmu jelas aku tidak bisa menerimanya."

"Apa yang harus aku lakukan, Mas? Apa yang harus aku jelaskan pada kedua orang tua kita jika sampai semua terbongkar?" monolog Rania.

3. Tidak akan satu kamar dan tidak akan berbagi ranjang.

Rania memasukan lembaran itu ke dalam tas. Dia memilih meninggalkan tempat tersebut dan menyelesaikan beberapa masalah di kantornya.

Istri Yang (Tak) Diharapkan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang