BAB 6 - BATIN TERSIKSA

62 3 0
                                    

Perjanjian pernikahan antara Aksa dan Rania

1. Tetap menjalankan kehidupan seperti sebelum pernikahan
2. Jika Aksa ingin berduaan dengan Rachel di rumah, Rania tidak boleh ganggu
3. Tidak akan satu kamar dan tidak akan berbagi ranjang
4. Rania boleh melakukan hal apa pun yang dia suka, begitu juga dengan Aksa
5. Tidak boleh mencampuri urusan pribadi masing-masing
6. Di depan orang tua adalah pasangan yang romantis, di luar itu adalah orang asing
7. Rania tidak wajib melakukan kegiatan sebagai seorang istri, begitu juga dengan Aksa
8. Segala bentuk kebutuhan Rania akan ditanggung oleh Aksa
9. Pernikahan akan hanya dilakukan satu tahun, bila terjadi suatu hal yang tidak diinginkan bisa diperpanjang sesuai kesepakatan

Helaan napas Rania begitu berat. Dia masih membaca kertas berisi perjanjian pernikahan dari Aksa. Hatinya tak kuasa menahan pedih.

"Astagfirullah. Bagaimana aku bisa menjalani semua ini, Ya Allah? Aku berharap pernikahanku hanya terjadi satu kali dalam seumur hidup, lalu kenapa ada perjanjian pernikahan seperti ini?"

"Tidak mungkin aku membiarkan Mas Aksa terus-menerus dalam lingkup kemaksiatan. Yang berdosa bukan hanya Mas Aksa, tapi aku pun ikut terkena. Bagaimana caranya untuk membuat kamu bisa menerima aku, Mas?"

Tanpa disadari air mata Rania turun menyusuri pipi ranumnya. Kedua orang tuanya dan juga orang tua Aksa sudah saling akrab, tentu para orang tua menginginkan pernikahan anak-anaknya sampai maut memisahkan. Bukan malah akan dipisahkan oleh hitam di atas putih.

"Aku ingin menikah satu kali dalam seumur hidupku, Mas. Pernikahan ini adalah jalan keluar satu-satunya agar aku bisa merasakan apa itu bahagia. Aku ingin membina rumah tangga yang diridai oleh Allah, Mas. Jika kita tinggal satu atap tapi melakukan hal yang sama dengan sebelum pernikahan, itu namanya apa?"

Rania menggelengkan kepalanya perlahan dengan mengusap air matanya. "Enggak. Aku akan tetap melakukan kewajiban sebagai seorang istri. Biarkan Mas Aksa menerima atau tidak yang terpenting aku sudah menunaikan kewajiban sebagaimana mestinya. Aku harus bisa membuat hati Mas Aksa luluh," ucap Rania.

"Tidak ada yang tidak mungkin. Aku yakin Allah pasti akan memberikan jalan untuk hubungan kami. Semoga saja Mas Aksa bisa melupakan pacarnya dan memilih mempertahankan pernikahan ini. Aamiin Ya Allah."

Pintu kamarnya dibuka secara paksa dari luar. Perlahan Rania menyembunyikan kertas tersebut di balik buku di hadapannya. Dia menoleh ke arah pintu dengan berhati-hati. Seperti biasa Adara sudah berkacak pinggang di sana.

"Kamu kemana aja sih, Rain? Tugas kamu apa sekarang, hah? Kamu lupa ya kalau hari ini seharusnya kamu itu membersihkan ruang tengah. Kenapa kamu masih di sini? Apa yang sedang kamu lakukan?"

"Sebaiknya ketuk pintu dahulu, Kak Dara. Tidak sopan jika tiba-tiba langsung masuk ke dalam kamar orang lain. Meski Rania adalah adik kakak, tapi alangkah lebih baiknya meminta izin terlebih dahulu. Bagaimana jika Rania sedang belum siap menerima tamu, Kak? Kakak seharusnya bisa menghargai Rania sebagai pemilik kamar," ucap Rania.

Adara melebarkan matanya seolah tidak terima dengan apa yang diucapkan Rania. Raut wajah Adara terlihat begitu kesal bercampur amarah. Perempuan berambut cokelat itu melangkah maju mendekati meja kerja Rania.

"Apa maksudmu, Rain? Kamu mau sok pintar, hah? Lagi pula suka-suka aku mau ngapain aja di rumah ini. Sebentar lagi rumah ini akan menjadi milikku! Nggak usah sok belagu! Pakek jilbab cuma buat nutup aib doang!" ejek Adara.

"Astagfirullah, Kak. Kenapa berbicara seperti itu? Menutup aurat adalah kewajiban setiap muslimah, Kak. Aku memakainya pun karena aku ingin melindungi abi dari panasnya api neraka. Dan aku juga tidak merasa pintar di sini, Kak. Bukankah sebagai anggota keluarga itu harus saling mengingatkan satu sama lain jika ada yang salah?" jawab Rania sambil menatap Adara lembut.

Adara berdecak kesal dengan menyahut, "Halah sok suci! Udah sekarang tugas kamu membersihkan ruang tengah, Rain! Jangan malas-malasan. Itu kan sudah menjadi tugas kamu di rumah ini untuk membersihkan semua ruangan yang kotor. Aku tidak mau punya rumah yang super kotor. Kamu paham bukan maksud aku?"

"Maaf, Kak Dara, tapi bukankah itu tugas kakak ya? Rania hanya memiliki tugas hari senin, kamis dan sabtu saja. Selebihnya itu jadwal kakak. Hari ini hari rabu, Kak, tugas aku masih besok. Sekarang Rania mau mengerjakan tugas dahulu," tolak Rania.

"Oh jadi gitu, sekarang kamu mulai berani sama aku? Siapa yang mengajari kamu untuk menentang ucapan aku, Rain? Aku ini adalah kakakmu dan semua ucapanku adalah perintah untukmu! Kerjakan cepat atau aku akan berbuat lebih! Kamu tahu sendiri bukan jika abi kesayanganmu itu lebih percaya aku ketimbang kamu. Jadi..., jika ingin berulah denganku berpikir terlebih dahulu!"

Rania menggelengkan kepalanya perlahan. "Astagfirullah, Kak. Aku masih mengerjakan tugas dan mohon maaf sekali tidak bisa membantu kakak kali ini. Nanti jadwal kakak selanjutnya biar aku yang membersihkan ya? Kali ini saja beri aku waktu untuk mengerjakan dan menyelesaikan tugasku."

"Oke baiklah, Rain. Tunggu saja pembalasanku," ucap Adara dengan melenggang pergi dari kamar Rania.

Kembali Rania mengatur napasnya agar tidak terlalu terbawa suasana. Adara, sang kakak tiri, selalu saja membuat perkara dengannya. Tidak suka jika Rania berada dalam posisi santai. Ada saja hal yang akan Adara lakukan untuk mengusik ketenangan Rania.

Adara akan menyenggol terlebih dahulu, setelah Rania sekiranya berani membalas maka Adara akan mengadu hal yang tidak-tidak ke Fredia atau pun Adam. Nanti Rania yang akan terkena omel atau marah dari orang tua mereka.

"Astagfirullah, Ran. Jangan sampai kamu menuruti ucapan Kak Dara. Ayo sabar, kamu pasti bisa."

Belum cukup lama, pintu kamarnya kembali terbuka dengan keras hingga menimbulkan bunyi benturan nyaring antara pintu dan tembok. Rania memejamkan matanya sambil melafalkan sholawat. Dia sudah paham dengan alur yang dimainkan Adara.

"Rain!" teriak Fredia menggelora.

"Iya, Ma?"

Fredia, ibu tiri Rania, sudah berkacak pinggang sambil menatap tajam ke arah Rania. Sudah dapat dipastikan jika Adara mengadu pada sang ibu tentang penolakan yang dilakukan oleh Rania.

"Cepat bersihkan ruang tengah, Rain! Sejak kapan kamu membantah ucapan kakakmu, hah? Kamu mau diusir dari rumah ini? Kamu mau jadi gelandangan," bentak Fredia.

"Ma..., Rania masih mengerjakan tugas. Bukankah hari ini tugas Kak Dara ya? Kenapa harus Rania yang mengerjakan, Ma? Itu adalah tugas dan tanggung jawab Kak Dara," jawab Rania.

Fredia menganggukkan kepalanya sambil mendekati Rania. Tangan Fredia begitu ringan menjambak ilbab putri tirinya tersebut hingga wajahnya mendongak. Rania memegang tangan Fredia untuk menahan agar ibu tirinya itu tidak menarik jilbabnya.

"Kamu mau melawan sama mama lagi, Rain? Masih mau membantah ucapan mama, hah? Kurang ajar kamu ya, Rain!"

"Astagfirullah, Ma. Bukan begitu maksud Rania," ucap Rania dengan memejamkan matanya.

Dalam hati Rania tidak pernah berhenti mengucapkan istighfar. Dia takut jika membalas perbuatan ibu dan kakak tirinya lebih kasar. Lebih baik dia diam dan membiarkan Allah yang membalasnya.

"Cepat kerjakan atau Mas Adam akan tahu masalah ini, Rain!"

'Ya Allah, kenapa jadi seperti ini?' batin Rania menjerit lantang.

"Cepat!" teriak Fredia dengan menarik jilbab Rania kuat.

Jilbab tersebut terlepas hingga menyisakan inner jilbabnya saja yang kebetulan menutup leher dan juga rambut Rania. Air matanya menetes kembali, kali ini Fredia keterlaluan. Rania merebut jilbabnya dan memakainya kembali.

"Baik, Ma."

Tak ada pilihan lain selain mengalah dan menuruti segala keinginan Fredia dan Adara. Rania tak memiliki ruang gerak yang bebas untuk menentang mereka. Terlebih abinya sendiri tidak pernah mendukung apa pun yang dia inginkan. Semakin dia melawan maka mereka akan semakin kasar padanya. Posisi Rania berada di paling pojok, tidak bisa bergerak kemana-mana.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 07, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Istri Yang (Tak) Diharapkan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang