Bab 2 - Disisihkan

34 2 0
                                    

"Rania!"

"Rania!"

Perempuan dengan baju kusut itu datang tergopoh-gopoh, jilbab yang dipakai pun basah dengan peluh. Di depannya kakak tirinya yang selama ini selalu memerintah dirinya layaknya seorang pembantu. Dia menundukkan kepala, tak berani menatap kakak perempuannya tersebut.

"Ada apa, Kak?" tanyanya hati-hati.

"Kamu lupa hari ini ada apa, hah? Aku hari ini ada pertemuan sama kolega bisnis papa. Siapkan semua yang aku butuhkan! Dan perlu kamu ingat, jangan pernah ikut ke pertemuan itu. Apa pun alasannya!"

Perempuan itu, Rania, dia menganggukkan kepalanya perlahan. Apa saja yang diperintahkan oleh kakaknya selalu dia kerjakan. Rania adalah anak patuh dengan ucapan siapa pun. Ia terpaksa hidup bersama kakak dan ibu tirinya setelah ibu kandungnya meninggal. Ayahnya menikah kembali karena tak ingin Rania kehilangan sosok seorang ibu, tapi kenyataannya Rania tak pernah mendapatkan kasih sayang seorang ibu kembali.

"Kamu nanti kalau diajak papa, bilang nggak bisa. Atau kamu tunggu saja di mobil! Aku nggak suka ya kamu merusak hariku yang menyenangkan. Ingat kamu itu hanya pembantuku. Tidak bisa melakukan hal apa pun. Semua ucapanmu adalah perintah untukmu!"

Si lugu dan polos itu hanya mengangguk perlahan. Dia tak berani berkata apa-apa selain menurut. Tak mungkin dirinya sampai berani menolak atau pun melawan. Akan menimbulkan masalah baru di keluarga mereka. Rania selama ini tidak pernah mendapat dukungan dari papanya sendiri. Seolah dirinya adalah anak tiri papanya sendiri dan anak pungut di keluarga ini. Papanya perlahan mulai terhasut oleh ucapan ibu dan kakak tirinya.

Rania mengekor langkah kakaknya, Adara. Dia berusaha untuk tetap bersabar apa pun hal yang terjadi. Setiap malam dirinya selalu berdoa untuk segera pergi dari siksa di rumahnya sendiri. Tak masalah dengan dirinya tidak akan mendapat apa-apa dari papanya yang terpenting adalah bagaimana kebahagiaan dan mentalnya nanti.

"Kakak hari ini berangkat jam berapa?" tanya Rania pelan.

"Jam sepuluh, Rain. Ingat kataku, kamu tidak boleh ikut. Aku ingin tebar pesona dengan anak pejabat kaya raya di sana. Jika kamu ada, maka aku akan disisihkan. Lagi pula untuk apa kamu tebar pesona, bukannya papa sudah menjodohkan kamu dengan anak sahabatnya?" jawab Adara.

Mata Rania terbelalak kaget bukan main. Tak ada ucapan apa pun yang papanya katakan pada dirinya tentang perjodohan. Bahkan dia selalu bilang jika tidak mau dijodohkan dengan laki-laki mana pun.

"Maksud, Kakak? Aku dijodohkan? Dengan siapa?"

Adara menoleh lalu menjawab, "Apa kamu tidak tahu, Rain? Kamu itu dijodohkan dengan laki-laki anak sahabat papa. Dia tajir. Dan papa memilih kamu, bukan aku. Terima saja nasibmu, Rain. Lagi pula kamu cocok kok menerima perjodohan itu. Bukannya pacaran itu tidak boleh ya? Iya kan? Kamu sering bilang seperti itu."

"Tapi, aku tidak mau jika dijodohkan secara mendadak. Apalagi tidak dengan sepengetahuan aku," gerutu Rania.

"Sudahlah, keputusan papa tidak bisa diganggu gugat. Ayo cepat bantu aku, Rain!"

Rain adalah panggilan Rania dari Adara. Dia dianggap sering menangis dan lemah, maka dari itu dijuluki hujan oleh Adara. Bukan panggilan khusus yang spesial, melainkan penghinaan. Adara selalu saja membuat Rania berkecil hati.

***

"Rania, kamu kenapa belum ganti baju? Kamu harus ikut hari ini, Nak."

Rania menoleh ke arah Adara. Kakaknya sudah rapi berkat bantuan darinya. Tatapan abinya begitu mendamba dia ikut perjamuan makan siang hari ini.

"Tapi, Abi. Aku wajib ikut ya? Rasanya aku lebih baik di rumah saja," jawab Rania dengan menundukkan kepala.

"Anak abi harus ikut. Kakakmu sudah siap. Ayo kamu ganti baju dan hijabmu, Nak. Abi tunggu di ruang tamu ya, Nak. Kamu harus ikut."

Istri Yang (Tak) Diharapkan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang