BAB 4 - KHITBAH

22 3 0
                                    

"Sebenarnya tamu spesial hari ini siapa, Kak? Kok aku nggak tahu ya? Cuma disuruh buat kue," tanya Rania dengan menatap Adara penuh harap.

Meski mendapatkan jawaban ketus, setidaknya rasa penasaran Rania sedikit terobati. Adara menoleh lalu dahinya mengerut.

"Kamu belum tahu, Rain? Calon suami kamu hari ini datang. Mau melamar kamu. Gimana sih kamu ini? Masa gitu aja nggak tahu?" jawab Adara singkat.

Lagi-lagi Rania tertinggal berita sendiri. Dia tak tahu-menahu tentang hari ini ada acara apa di rumahnya. Yang Rania tahu adalah membuat kue untuk tamu. Selebihnya zonk. Tidak ada yang memberitahu pada dirinya. Bahkan Adam sekali pun seolah memilih tutup mulut.

"Dara," ucap laki-laki yang tengah memperhatikan mereka berdua sedari tadi.

Rania ikut menoleh ke sumber suara. Adam berdiri dengan senyuman simpul menghiasi wajahnya. Pria itu berjalan mendekati putri semata wayangnya tersebut.

"Rania," panggil Adam.

"Iya, Abi?"

"Kamu sudah besar ya, Nak? Abi ingin kamu ada yang menjaga. Laki-laki baik dan bertanggung jawab yang abi percaya untuk menjaga dan melindungi putri kecilnya abi. Rania, abi ingin melihat kamu menikah dengan laki-laki pilihan abi."

Rania menahan air matanya yang sudah mengintip di pelupuk matanya. Dia berusaha agar terlihat begitu tegar dan kuat menjalani semuanya. Tidak ingin sampai Adam ikut merasakan apa yang dia rasakan sekarang.

"Abi ingin menjodohkan kamu dengan laki-laki pilihan abi, Nak. Kamu mau kan? Abi tak ingin kamu sampai salah menjatuhkan pilihan suami nantinya. Alhamdulillah, abi memiliki sahabat yang kebetulan juga memiliki anak laki-laki bujang. Kami sepakat untuk menjodohkan kalian berdua, Nak."

"Tapi...,"

"Sudah terima saja, Rain. Lagi pula siapa sih yang mau sama kamu? Pergaulan kamu itu loh nggak luas, Rain. Mama juga ingin yang terbaik untuk kamu," timbrung Fia, ibu tirinya.

"Abi berharap sekali sama Rania untuk menerima perjodohan ini, Nak. Kamu bersedia kan, Nak?" tanya Adam dengan menggenggam tangan Rania.

Rania menundukkan kepalanya. Dia di rumah ini adalah seorang paling dikucilkan dan dianggap tidak bisa berbuat sesuatu. Ibu dan kakak tirinya tidak tahu jika selama ini dia memiliki perusahaan sendiri. Sengaja Rania menyembunyikannya dan juga meminta pada Adam untuk merahasiakan dari siapa-siapa.

Setelah menghela napas panjang akhirnya Rania menganggukkan kepalanya. "Insyaallah Rania siap, Abi. Jika memang ini yang terbaik menurut abi untuk Rani, maka insyaallah Rania siap menerima."

Adam tersenyum sambil memeluk tubuh Rania. Dia mengajak perempuan itu pergi dari dapur tersebut

"Sekarang kamu ganti baju ya, Nak. Abi sudah menyiapkan baju terbaik untuk kamu. Sudah abi gantung di kamar kamu, Nak."

Rania mengangguk dan menurut dengan ucapan Adam. Dia cepat-cepat segera ingin masuk ke dalam kamar dan meluapkan perasannya di sana.

Dia menatap baju berwarna merah muda yang sudah tergantung rapi di depan lemarinya. Air mata Rania luruh perlahan bersamaan dengan tubuhnya yang ikut limbung ke lantai.

"Allah selalu menggariskan yang terbaik untuk setiap hambanya, Rania. Entah melalui jalan mana pun," ucap Rania dengan mengusap dadanya.

Meski berat selama ini Rania selalu dengan hati terbuka. Mengeluh saja tak akan merubah segalanya. Rania lelah mengadu pada Adam, abinya sendiri pun tak bisa menjadi rumah terbaik untuk ya. Hanya Allah yang menjadi tumpuan hidupnya dan tempat menumpahkan rasa keluh kesahnya.

"Semoga ini adalah jodoh terbaik yang sudah Allah siapkan untuk aku melalui perjodohan ini. Menjadi jalan keluar agar aku bisa keluar dari rumah ini. Aku berharap hidupku menjadi damai dan nyaman. Setidaknya aku diterima dengan baik oleh keluarga calon suamiku."

Pasrah, hanya itu yang bisa Rania lakukan dalam menghadapi masalahnya. Dia menyerahkan semuanya pada Yang Maha Kuasa. Mempercayakan semuanya jawaban kepada Allah.

***

"Rania," panggil Sarah.

"Iya, Mbak?"

"Kamu kenapa murung, Dek? Apa yang mengganggu pikiranmu?"

Rania tersenyum dengan menggelengkan kepalanya perlahan. Meski sudah dirias tipis tapi masih terlihat jelas raut wajah sedih.

"Tidak ada, Mbak. Masih belum menyangka aku akan segera melepas masa lajang. Itu tandanya akan segera menyusul Mbak Sarah," jawab Rania.

Sarah mengelus puncak kepala Rania. Dia tersenyum lembut ikut merasakan apa yang tengah membuat adik keponakannya terlihat begitu resah. Keduanya sama-sama saling merasakan perjodohan dari pihak keluarga.

"Sebelum kamu menjalaninya jangan menyimpulkan terlebih dahulu, Dek. Meski awalnya berat, tapi percayalah Allah selalu memberikan jalan terbaik untuk kita. Kakak percaya kamu bisa menerima perjodohan ini, Dek."

"Insyaallah, Mbak. Semoga ini menjadi pilihan yang terbaik," jawab Rania dengan menghela napas panjang.

Sarah tersenyum simpul dengan mengusap bahu Rania. Dia adalah anak dari kakak ibunya. Rania lebih dekat dengan Sarah ketimbang dengan Adara. Sifat Sarah yang lemah lembut persis seperti mendiang ibunya. Membuat Rania merasa nyaman dan betah di dekat perempuan itu.

"Uma hari ini ikut ke sini, Mbak?"

"Iya, ikut. Tidak mungkin sampai tertinggal momen bahagiamu, Dek. Uma selalu merindukan kamu. Ada kesempatan kali ini uma dan abah datang ke sini untuk ikut menyaksikan prosesi khitbah. Insyaallah kami akan menginap nanti malam. Jadi, kamu bisa menghabiskan waktu bersama uma dan abah. Kamu senang, Dek?" jawab Sarah sambil tersenyum.

"Alhamdulillah. Rania kira uma dan abah tidak datang hari ini. Nanti menginap di sini saja, Mbak. Rania rindu sekali dengan Uma dan abah," ucap Rania.

"Insyaallah, Dek. Ayo kita ke bawah semua sudah menunggu. Tugas mbak ke sini tadi adalah menemani kamu," ajak Sarah dengan menggandeng lengan Rania.

Di setiap langkah Rania merapalkan doa agar mendapatkan ketenangan hati. Dia takut jika tidak bisa menjalani bahtera rumah tangganya nanti seperti apa yang Rasulullah ajarkan. Rania menghela napas panjang sebelum akhirnya sampai di tempat acara khitbah.

Pandangan Rania menunduk. Takut jika sampai bertemu pandangan mata dengan lawan jenis yang bukan muhrimnya. Di sisi kanan Rania ada Sarah dan sisi kirinya ada Uma Rosidah. Usapan lembut di tangannya membuat hati sedikit tenang. Rania selalu merasa nyaman dan tenang jika berada di dekat Sarah atau Uma Rosidah.

"Nak Rania, ini calon suami kamu. Namanya Danandyaksa," bisik Uma Rosidah dengan tersenyum.

Rania masih diam. Dia menundukkan pandangannya sembari melafalkan sholawat di dalam hati. Tak ingin membuat pikirannya terlalu berspekulasi buruk.

"Coba kamu lihat," ucap Sarah.

Jantung Rania berdetak tak beraturan. Dia merasa gugup dan salah tingkah sendiri. Takut jika dia tak seperti yang keluarga calon suaminya harapkan. Rania bukan perempuan sempurna, jauh dari kata itu.

Pandangan Rania dan laki-laki itu tak sengaja bertemu. Rania merasa tidak asing dengan laki-laki yang duduk di hadapannya itu. Sepertinya dia pernah berjumpa di sebuah tempat. Sebelum benar memastikan Rania memilih menundukkan kepalanya kembali. Dia tidak ingin membuat dosa.

Istri Yang (Tak) Diharapkan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang