23. Sunlit World

6 0 0
                                    


Sinar mentari lembut yang menembus sela-sela batang Yggdrasil membangunkan Liz dari tidur. Wanita cahaya itu menguap lebar. Ia melangkahkan kaki keluar dari telaga dimensi, kali ini tak lagi terikat pada permukaan tenang itu. Kebijakan penjaga Afer yang baru mengizinkannya melepaskan diri dari telaga gerbang dimensi.

Liz berjalan tenang keluar dari relung Yggdrasil menuju sebuah rumah kecil yang berada tak jauh dari sang pohon kehidupan. Mengetuk pintu, Liz berseru kencang.

"Selamat pagi, nona! Apakah anda sudah bangun?"

"Iyaa, tunggu sebentar!"

Liz melepaskan tangannya dari pintu. Ia berdiri tegak, menunggu sang pemilik suara feminim membukakan pintu untuknya. Sekian lama menanti, pintu tak kunjung terbuka. Liz mengetuk sekali lagi.

"Nona, apakah ada sesuatu yang terjadi?"

Terdapat jeda sebentar sebelum suara itu kembali menyahuti Liz.

"Ya, ada! Ada penyusup masuk ke rumahku!"

Pintu menjeblak terbuka, menampakkan sosok seorang gadis Elf yang masih mengenakan gaun tidurnya. Gadis itu tampak gusar, menyeret seorang lain yang berambut hitam dan mencampakkannya di hadapan Liz.

Liz mengernyitkan matanya. "Selamat pagi, Master Shinra. Aku yakin kau adalah 'penyusup' yang dimaksud oleh nona Elise."

Shinra, sang gadis berambut hitam, mengangkat tubuhnya dari tanah dan mengerang. Shinra mengusap bekas luka melintang di wajahnya yang dipenuhi debu. "Kalian berdua jahat sekali. Ini, 'kan, rumahku juga. Kenapa aku dikategorikan sebagai penyusup, eh?"

"Rumahmu dulu itu di Yggdrasil. Bangunan beratap dan berdinding yang ini adalah rumahku. Tolong bedakan antara rumah berbentuk bangunan dengan dahan-dahan pohon yang membentuk anyaman tempat tidur, Master Shinra," Elise menggetok kepala Shinra dengan buku-buku jarinya.

Penekanan Elise pada kata 'Master' membuat Shinra mengerang kesal. "Jangan panggil aku seperti itu, Elise..."

Elise hanya mengangkat bahu. "Aku tidak salah, 'kan, Master? Lagipula kau dulu juga memanggil tuan Heimdall dengan sebutan Master, bukan begitu?"

"Konteksnya, 'kan, beda!" sang dewi yang kini menjadi penjaga sembilan dunia itu menghela napas pasrah, tahu bahwa dirinya tidak akan menang berdebat dengan Elise.

Elise tertawa kecil melihat ekspresi kalah Shinra. Ia menepuk bahu sahabatnya. "Hahaha, aku hanya bercanda, Shinra. Ngomong-ngomong, ada apa kau pagi-pagi datang kemari? Pakai jas pula."

"Hm?" Shinra mengangkat alis. "Memangnya kau lupa, Elise?"

"Lupa apa?"

"Hari ini ada pertemuan rutin. Semua dewa wajib datang."

Mata Elise terbelalak sempurna. "Astaga! Sungguhan?! Ya Tuhan aku benar-benar lupa! Jam berapa pertemuannya?"

"Jam tujuh tepat. Sekarang jam tujuh kurang sepuluh menit."

"Ya ampun, ya ampun! Tunggu sebentar, ya Shin! Aku mau mandi dulu!"

Dengan itu, Elise melesat masuk ke rumah. Shinra tertawa kecil melihat tingkah panik sahabatnya. Puas tertawa, ia mengalihkan pandangan ke arah Liz yang sejak tadi memperhatikan mereka berdua.

"Liz, bagaimana kabarmu?"

"Aku sangat baik, Master. Nona Elise adalah dewi yang sangat perhatian pada kami."

"Iya? Syukurlah," Shinra tersenyum. Tangannya memasuki kantung celana kainnya. "Tadinya aku khawatir dia sulit membiasakan diri dengan kehidupan sebagai seorang dewi."

"Hahaha, justru nona Elise begitu mudah menyesuaikan diri," Liz menatap pintu rumah kecil Elise. "Kami senang karena kau mengirimkan nona Elise untuk menggantikan tugasmu."

"Aku juga senang karena tuan Odin mau mengabulkan usulanku. Kukira beliau akan langsung membunuhku saat aku mengajukan Elise untuk dijadikan dewi, lalu menggantikan tugasku di Afer. Ternyata tidak, hehehe.."

"Kalian semua mengambil keputusan yang benar-benar baik."

"Memang."

Shinra melangkah, duduk di sebuah akar pohon yang menjalar di atas tanah. Liz memilih untuk tetap berdiri meskipun mendekati Shinra.

"Oh, iya, Master. Nona Nyx dan nona Mara bilang mau datang ke sini hari ini. Tapi sore."

"Wah, baguslah. Padahal baru enam bulan, tapi rasanya sudah lama sekali semenjak aku terakhir bertemu dua orang itu. Kuharap mereka membawakan oleh-oleh dari Helfheim. Manisan mangga menggigit dari sana enak sekali."

"Mangga.. menggigit?"

"Iya, kau tahu? Kalau belum matang, mangga yang berada di pohon memiliki mulut dan akan menggigit siapapun yang berusaha mengambilnya. Tapi saat sudah matang, rasanya jauh lebih enak dari mangga manapun yang ada di dunia. Kau harus coba, Liz."

Kening Liz berkerut dalam. Membayangkannya saja sudah merinding. "Uhh... tidak, terima kasih. Master saja yang makan."

"Aku serius. Rasanya enak sekali, Liz."

"Iya, aku percaya, kok, Master..." Liz menghela napas. "Kau sejak tadi menceritakan Helfheim. Bagaimana dengan Alfheim, Master?"

"Hm? Alfheim, ya?" Shinra menerawang jauh. Seulas senyum terbentuk di wajahnya yang dihiasi gurat luka. "Dunia yang indah. Sayang sekali semua didominasi warna hijau. Rumput hijau, daun hijau, rambutnya juga hijau.. hahaha. Tapi tempat itu begitu menenangkan. Aku belum kembali ke sana semenjak aku diangkat lagi. Kurasa besok-besok aku akan berkunjung."

"Bersama nona Elise?"

"Mungkin saja. Kalau aku jadi pergi, jaga tempat ini, ya Liz."

Liz mendengus. "Asal perginya tidak dua bulan."

"Hahaha... iya, iyaa.."

Percakapan mereka terhenti saat Elise muncul dari balik pintu. Gadis itu terengah, sepertinya benar-benar tergesa-gesa dalam mempersiapkan dirinya. Tapi, ketergesaan itu tidak sampai membuat riasan Elise terlihat aneh. Gaun formal yang dipakainya pun masih tampak manis memeluk tubuhnya.

"M-Maaf aku terlambat."

"Tidak apa-apa." Shinra melirik jam tangannya. "Masih ada waktu dua menit. Ayo kita berangkat."

Hanya dengan satu jentikan jari, sebuah portal dimensi terbuka di samping Shinra. Ia melangkah memasuki portal itu, diikuti oleh Elise. Sang dewi penjaga Afer yang baru sepertinya mengingat sesuatu, karena ia menoleh menatap Liz.

"Lizzie, tolong jaga Afer selama kami pergi, ya?"

Liz mengangguk. "Tentu saja, nona."

Elise tersenyum lalu berbalik, mengikuti Shinra yang sudah lebih dulu berada di dalam portal. Ditinggal seorang diri, Liz melambaikan tangan pada dua Masternya sampai akhirnya pintu portal tertutup.

"Ah," Liz mengangkat kepalanya, memandangi langit yang terlihat cerah tanpa awan.

"Hari ini cuacanya indah. Semoga Tuhan memberkati kalian, nona Elise, Master Shinra."

Fin

Thus The Divine Dragon Shed Her ScalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang