Langit-langit kayu adalah hal pertama yang Shinra lihat saat ia membuka mata. Kepalanya terasa pening, tubuhnya sakit dan ia merasa sesak seakan sesuatu menekan perutnya. Kasur empuk dan selimut yang hangat memeluk tubuhnya membuat Shinra tergoda untuk kembali memejamkan mata. Tapi ia menyadari bahwa dirinya berada di rumah yang tak ia kenali. Tangannya bergerak, berusaha mencapai sesuatu, apapun, saat jemarinya menyentuh helaian rambut.
Mengabaikan rasa sakit, Shinra mengangkat kepala, berusaha melihat siapa gerangan yang berbaring menemaninya. Ia mendapati kepala bersurai hijau emerald bersandar ke pinggangnya. Rupanya itu sumber dari sesak napas Shinra. Ia mengerang kecil sambil menggoyangkan tubuh si gadis Elf, berusaha membangunkannya.
"Oy.. hijau. Bangun... kau berat," gumam Shinra pelan. Ditunggu beberapa saat, si gadis Elf sama sekali tidak bergerak. Mood Shinra langsung mendung. Seandainya seluruh ototnya tidak menjerit kala digerakkan, Shinra yakin ia sudah membanting rekannya itu ke lantai.
"Heii... bangun.." Shinra menarik-narik rambut si gadis Elf. Tidak mendapat jawaban, tangan Shinra bergerilya menyusuri bagian lain dari wajah si Elf. Meskipun rekannya itu tidur menghadap ke arah berlainan, tangan Shinra cukup panjang untuk bisa menarik telinga runcing si gadis Elf.
"Ngh," suara lenguhan lirih terdengar, menandakan bahwa si gadis Elf sudah terbangun. Ia mengangkat kepalanya dari posisinya di perut Shinra, membuat Shinra menarik napas lega. Ia memperhatikan si gadis Elf mengucek matanya, mengusir kantuk dari wajahnya. Saat ia menoleh dan keduanya bersitatap, iris madunya terbelalak lebar.
"Ah! Kau sudah bangun!"
"Terima kasih karena sudah sadar," balas Shinra sarkatis. Namun, seakan tidak memedulikan kekesalan Shinra, si gadis Elf tersenyum lebar dengan wajah berseri-seri.
"Syukurlah kau baik-baik saja. Aku benar-benar khawatir saat kau jatuh pingsan di hutan tadi," suara si gadis Elf tiba-tiba berubah drastis. Nadanya terdengar lembut mengayomi, dan ekspresinya berubah teduh. Ia membenahi rambutnya, berantakan berkat jambakan-jambakan kecil Shinra.
"Namaku Elise Selene. Kau Shinra Drakengard, bukan? Kakakku sudah memberitahu akan kedatanganmu, aku minta maaf karena pertemuan kita tidak terjadi di tempat dan suasana yang seharusnya," Elise terlihat malu. Shinra mengangkat sebelah alisnya. Jadi, gadis yang menyelamatkan hidupnya dan juga ia selamatkan adalah sang adik yang Freyja katakan.
"Oh, oke. Salam kenal Elise," Shinra mengulurkan tangannya.
Elise tersenyum manis dan menjabat tangan Shinra. "Salam kenal, Shinra."
Setelah tangan mereka tak lagi bertaut, Elise memainkan jemarinya. Ia tampak gelisah. Sebelah alis Shinra terangkat, heran dengan perubahan mood rekannya yang amat cepat dan tak tertebak. Shinra menyentuh lengan Elise perlahan, sebuah kontak ringan yang membuat si gadis berambut hijau terjingkat. "Hei.. kau tidak apa-apa, 'kan?"
Pertanyaan bernada khawatir yang diajukan Shinra mengundang tawa gugup dari Elise. "T-tidak.. aku hanya sedikit berpikir. Mulai sekarang kau akan tinggal bersamaku, kurasa aku harus beradaptasi dengan keberadaan orang baru di sini."
"Maksudmu, kau sebelumnya selalu sendirian?" tanya Shinra.
Elise mengangguk pelan.
"Bagaimana dengan Freyr dan Freyja? Mereka tidak tinggal bersamamu?"
"Kak Freyr dan kak Freyja tinggal di grand capital, karena mereka adalah dewa pelindung. Terkadang mereka berkunjung, tapi sehari-harinya aku tinggal seorang diri," jawab Elise seraya mengelus bagian belakang lehernya.
Shinra mengernyit, menyadari sesuatu. Jadi modus dua bersaudara Elf itu mengajukan pengasingannya ke sini ada dua. Satu, untuk memudahkan mereka mengawasinya dan dua, untuk menemani adik mereka. Ngomong-ngomong tentang adik, sepanjang yang Shinra ingat baik Freyr maupun Freyja tidak pernah mengungkit-ungkit tentang Elise.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thus The Divine Dragon Shed Her Scales
FantasyAda begitu banyak kisah yang menceritakan tentang sebuah perjalanan. Baik itu tentang seorang pahlawan ataupun seorang penjahat. Aku tidak akan menceritakan padamu semuanya. Aku akan menceritakan satu. Satu kisah yang aku saksikan dengan mata kepala...