10. Into the Unknown

2 0 0
                                    

"Aku masih tidak percaya bahwa kita benar-benar akan melakukan hal ini," ujar Elise sambil berkacak pinggang. Tak jauh darinya, Shinra menyeringai tipis. Keduanya sedang berada di satu-satunya tempat potong rambut di Sylvwyre, untuk merapikan rambut Shinra yang tumbuh acak-acakan.

"Jangan begitu, Elise. Kau sendiri yang menyetujui rencanaku tempo hari," balas Shinra tanpa sedikitpun menatap Elise. Melirik saja tidak. Ia masih fokus pada pantulan wajahnya di cermin. Shinra menyentuh sebagian rambutnya yang masih utuh. "Lagipula aku sudah menuruti perintahmu untuk potong rambut. Padahal aku suka style ini, membuatku terlihat keren dan misterius."

"Kau lebih terlihat seperti remaja-remaja Midgard tidak jelas yang berkoar-koar mengatakan mereka 'sedang mencari jati diri', bagiku," Elise mendengus. Memang ialah yang memaksa Shinra untuk potong rambut, dengan alasan yang cukup logis. Yaitu agar pandangan Shinra tidak terhalang oleh helaian rambutnya yang lebih panjang di bagian kanan sampai menutupi matanya.

Shinra tampak tersiksa kala helai-helai kelamnya perlahan jatuh ke lantai. Sang tukang cukur sudah Elise wanti-wanti agar bekerja tanpa ampun dan tidak mendengarkan rengekan Shinra. Pesanan Elise sebenarnya simpel saja, tanpa poni dan merapikan rambut bagian belakang Shinra yang mencuat ke sana kemari. Entah mengapa bisa begitu, padahal Elise pernah mencoba menyisir rambut Shinra saat masih basah. Hasilnya justru lebih mengerikan dari biasanya.

"Nah, kalau begini, kan, kau jadi lebih cantik," ujar Elise yang mendapat cibiran kesal dari Shinra. Setelah si tukang cukur menyelesaikan tugasnya, wajah Shinra terekspos sempurna. Sepasang iris heterochromia-nya bersinar cerah, ternaungi poni yang memang disisakan sedikit. Helaian tanpa aturan yang ada di bagian belakang kepalanya pun tampak lebih rapi.

Shinra mematut diri di depan cermin kala Elise membayar jasa tukang potong rambut. Sang gadis elf menarik lengan baju Shinra setelah ia selesai. Keduanya melangkah keluar dari tempat itu dan Elise mengeluarkan secarik kertas dari saku bajunya.

"Setelah ini berarti.. hm, membeli senjata," ia memasukkan kertas itu kembali. "Aku butuh busur panah baru, kau butuh pedang, Nyx titip belati dan kristal sihir terbaik. Berarti kita ke Firesmith."

"Ah, tuan Waschke," Shinra bergumam pelan. "Kuharap dia mau memberi muridnya ini diskon."

"Kenapa memangnya?"

"Sebenarnya, aku itu sangat menginginkan sebuah pedang milik tuan Waschke. Tapi harganya minta ampun. Lima juta talons! Butuh seumur hidup bekerja menjadi pemburu guild kelas-S untukku bisa membeli pedang itu!" Shinra mengayun-ayunkan tangannya cepat. Elise terkekeh geli karena temannya itu terlihat sangat kekanakan.

"Kau benar-benar sangat menginginkan pedang itu?"

Shinra mengangguk. Mereka berdua telah sampai di depan pintu toko Firesmith. Elise menghela napas. "Ya sudah, sabar saja."

Hati Shinra retak.

Mengabaikan rekannya yang tampak patah hati, Elise memasuki Firesmith. Waschke yang duduk di kursi konter langsung menyambutnya ceria. "Selamat siang, Elise!"

"Selamat siang, tuan Waschke," Elise tersenyum ke arah Waschke. Ia berjalan mendekati konter. "Saya mencari busur panah, pedang, belati dan kristal sihir terbaik."

"Akan kucarikan yang terbaik, tapi silahkan melihat-lihat. Oh, ya, ke mana Shinra? Dia minta libur hari ini, dan katanya mau pergi, ya?"

"Aku di sini, tuan," Shinra tiba-tiba menyahut. Wajah Waschke tampak terkejut kala melihat Shinra memasuki toko.

"Hohoho, jadi kau minta libur hari ini untuk potong rambut dan belanja?"

"Ahaha," Shinra menggaruk tengkuknya. "Yah, itu satu hal. Ada hal lain yang membuatku meminta izin hari ini."

Thus The Divine Dragon Shed Her ScalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang