Jumat di minggu selanjutnya, setelah memastikan semua job selesai gue yang emang udah bawa koper di mobil, langsung otw ke halte Polines buat jemput Nia. Setelah memastikan semua barang terbawa, mobil yang membawa kita berdua-hanya berdua, melaju membelah jalan dari Tembalang ke Surabaya.
Gue kata ini capek, nyetir mobil berjam-jam, tanpa temen ngobrol dan malah ditinggal tidur. Tapi entah kenapa, rasanya gue ikhlas sepenuh hati nganterin Nia ke sini.
Subuh, kita istirahat di rest area buat sholat dan nyari sarapan. Gue doang sih yang sholat, Nia lagi haid jadi gue suruh buat nyari bubur ayam atau makanan lain.
Drrrt!!
Handphone Nia bergetar, dia keliatan segan mengangkat.
"Angkat aja ga papa!" suruh gue.
"Iya Waalaikumsalam, ini sudah di Purwodadi kang. Paling berapa menit lagi sampai rumah," jelas Nia sambil ngambilin sendok dan kecap mendekat ke arah gue.
"Enggeh Kang. Nanti kalau udah sampe langsung Nia kabari. Iya, di deket balai desa tho?. Oke Kang, Waalaikumsalam,"
"Siapa Ni?" gue udah terlanjur kepo pas samar-samar denger suara cowok di seberang telepon.
"Itu mas, Kang Rafli calonnya Nia," jawabnya santai sambil menuang sesendok sambal di mangkok buburnya.
"Owalah calon suami ya?!" gue mengulangi pernyataan Nia, otak gue masih loading, antara percaya dan engga kalau gadis di depan gue ini bentar lagi udah dipinang orang.
Hati gue agak menggelitik pas tau fakta ini, ada perasaan yang gak familiar muncul di relung-relung hati gue.
Duapuluh menit kemudian, kami sampai di pelataran rumah Nia. Rumah kecil dengan model khas pedesaan. Lantainya masih semen, temboknya sudah mulai berlumut, dan keropos terlihat di mana-mana.
"Walah, Nia. Pie kabare? Apik tho?" tanya seorang wanita paruh baya yang gue paham adalah istri dari Pakdhe.
"Ini Mas Raja yang kemarin kan? Sugeng rawuh ya Mas, monggo masuk," Nia dan Budhe mempersilahkan gue masuk rumah, gue masuk setelah ngambil barang-barang di bagasi mobil.
"Maaf ya mas, seadanya gini," ucap Nia tak enak hati ke gue pas nyuguhin beberapa jajan toples dan segelas teh hangat ke depan gue yang duduk lesehan di ruang tamu.
"Mas Raja jadi ikut Mas?" pakdhe muncul dari belakang, dengan baju khas petani yang masih bersih.
Gue dan Pakdhe ditinggal para wanita, akhirnya kita ngobrol ngalor-ngidul, dan berakhir gue ditinggal sendiri karna pakdhe yang harus segera garap sawah. Akhirnya gue Cuma bisa jengak-jenguk nontonin berita di TV kecil rumah Nia.
"Makan siang dulu Mas, di depan!" suara Nia berhasil mengalihkan atensi gue. Gue yang awalnya fokus ngeliat Tv, akhirnya noleh dan terperanjat hebat saat mendapati Nia dengan gaya rumahan. Badan mungil Nia, yang satu bulan ini gue anggep ga menarik, seketika bikin gue gagap Cuma karena sehelai daster panjang dan kerudung bergo yang dia kenakan.
"Mas?!" tegurnya lagi.
"Ah, oke-oke!" jawabku sekenanya.
"Oh iya Mas, nanti sore Mas Raja saya tinggal di sini sendiri ga papa ya? soalnya Nia mau ketemu sama Kang Rafli buat bahas lamaran yang tinggal 2 hari lagi," ucapan Nia ini entah kenapa bikin gue gagal fokus lagi. Gue berniat buat ngikutin Nia ketemuan bareng calonnya, gue pikir ini jalan terbaik untuk memastikan Nia jatuh di tangan yang tepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Janji Jiwa
General FictionHidup Raja sebagai seorang koas tiba-tiba berubah setelah kehadiran Nia, gadis yang ia nikahi atas dasar belas kasihan sang Umi. Nia, gadis desa, yatim piatu, pendiem, aneh, dan ga tau mode. Itu satu kalimat yang bisa mendefinisikan Nia dari sisi Ra...