Pagi ini Umi ada jadwal kontrol ke rumah sakit. Setelah berangkat bareng sopir, Umi langsung duduk di depan receptionist untuk mengambil antrian. Di tengah hiruk-pikuk rumah sakit yang ramai namun hening ini, samar-samar Umi mendengar suara ribut dari depan.
“Bukan begitu Mbak, semester lalu saya sudah perbarui data dan berhasil memindahkan BPJS ke rumah sakit ini, lah ini kok bisa saya dibebani biaya total bukannya malah dari BPJS?” protes seorang gadis dengan kemeja dan kerudung hitam.
“Iya kak, kami paham. Namun server kami tidak bisa membacanya, sehingga terpaksa Kakak kami bebani biaya asli,” terang petugas dengan memperlihatkan secarik kertas ke hadapan sang gadis.
“Kok bisa mbak? Kali ini aja ga bisa apa mbak diprotes dulu. Maksudnya saya dibantuin tetep pake BPJS, soalnya saya ga ada uang,” gadis itu memelas, berharap sang petugas bisa luruh.
“Mohon maaf tidak bisa kak, karna ini sudah terprogram komputer jadi tidak bisa kami ubah!”
Umi yang tengah mengambil antrian di loket sebelah, langsung mendekat, kemudian menyodorkan ATM kepada petugas.
“Bayar pakai ini saja Mbak, saya walinya!”
“Eh, jangan tante, mohon maaf!” tolak sang gadis, namun tidak berhasil karena petugas lebih dahulu menyelesaikan seluruh rangkaian administrasi.
“Yuk ikut tante dulu!” Umi mengajaknya untuk duduk bersama di bangku tunggu.
“Makasih tan atas pertolongannya tadi. In sya allah nanti Nia ganti kalau udah ada uangnya,” ucap si gadis yang ternyata bernama Nia.
“Owalah nama kamu Nia tho. Udah gak usah, paling berapa puluh ribu kok. Kamu ini mahasiswi ya asalnya dari mana?”
“Iya tante, Nia dari Surabaya. Cuma sekarang udah ga pernah pulang kampung karna orang tua di sana udah gak ada,” jelasnya.
“Ya Allah, sabar ya nak. Kalo gitu, ini tak kasih nomor Umi, habis ini langsung chat ya. Umi pamit mau priksa. Assalamualaikum!” Umi menyerahkan selembar kartu nama miliknya, lalu beranjak pergi menuju poli umum. Sedangkan Nia masih mematung menyadari bagaimana ia beruntung bisa bertemu orang baik di tengah masalahnya.
“Iya. Ini gue otw bawel! Gue lari ini dari resepsionis. Eh, sorry, sorry!” obat yang baru saja nia tebus terjatuh setelah seorang laki-laki berjas sneli menyenggolnya, beruntung obat itu masih utuh.
“Pasien bangsal berapa?” tanya Raja yang tengah tergesa-gesa karna baru saja mendapat panggilan darurat.
“Oke, oke. Habis ini giliran elo yang jaga loh ya. Gue mau izin ketemu umi soalnya,” tutupnya pada seseorang di seberang telepon.
Dan benar saja, selepas terbebas tugas, Raja langsung menemui sang umi di kantin rumah sakit.
“Sehat Mi? Tadi gimana?” ucap Raja setelah salim ke Umi.
“Sehat, normal dan aman kok. Kamu gak perlu khawatir,”
“Alhamdulillah kalo gitu Mi,”
“Oh iya, kamu belum punya pacar tho Ja?” tanya Umi tiba-tiba. Raja mengangguk menyetujui pertanyaan dari uminya.
“Kalo gitu, besok ketemu kenalan umi ya. Kamu coba kenalan sebulan dulu gak papa, kalo ga cocok boleh gak dilanjut. Gimana, mau gak?” tawar sang Umi pada anak semata wayangnya itu.
‘Ini umi gak lagi ngejodohin gue kan?’ ucap Raja dalam hati, ingin mengelak, tapi merasa tak enak pada uminya.
“Boleh Umi, nanti umi kirimkan detailnya ke Raja,” Raja berucap setuju, walau sebenarnya hatinya ingin menolak, karna sesungguhnya ia masih mengusahakan kedekatannya dengan Alana-adik tingkatnya di Jurusan Gizi Undip.
KAMU SEDANG MEMBACA
Janji Jiwa
Ficção GeralHidup Raja sebagai seorang koas tiba-tiba berubah setelah kehadiran Nia, gadis yang ia nikahi atas dasar belas kasihan sang Umi. Nia, gadis desa, yatim piatu, pendiem, aneh, dan ga tau mode. Itu satu kalimat yang bisa mendefinisikan Nia dari sisi Ra...