"Iya, Pa."
"Iya, Pa."
"Oh iya, bener, Pa."
Aku memukul-mukul kecil lengan Mahesa. Laki-laki itu hanya menoleh sekilas padaku dan justru menggeser duduknya. Ah, kesal sekali!
"Oke, siap, Pa."
"Iya, Pa. Waalaikumsalam."
Panggilan Mahesa terputus dan dia melotot kesal padaku. Tentu, aku tidak kalah kesal melotot padanya. Dia benar-benar tidak bisa diandalkan.
"Apaan itu iya Pa iya Pa doang!" kesalku memukul lengannya sekali lagi. Kali ini lebih keras. Tanpa bertanya hasil pembicaraannya dengan Papa aku sudah tahu bahwa Mahesa gagal membantuku membujuk Papa.
Kupukul dia sekali lagi. Tidak menghiraukannya yang mengeluh sakit dan menatapku tajam.
"Nggak usah pukul-pukul. Bar-bar banget jadi cewek!"
"Bodo!" Mataku melotot padanya. "Bilang doang mau bantuin. Tapi apa? Lo cuman iya-iya saja di telepon."
Mahesa mengusap lengan yang tadi aku pukul itu. Laki-laki itu diam memerhatikanku seolah tengah berpikir. Seharusnya memang tidak meminta bantuannya. Membujuk Bundanya sendiri agar diizinkan mengambil hukum saja dia tidak bisa. Apalagi membujuk Papaku yang galak untuk membantuku pindah kos. Mahesa benar-benar tidak bisa diandalkan.
"Ya udah tahanin aja deh, Lun, di sana." Dia menatapku memelas. Tapi aku tidak kasihan sama sekali. Justru kembali memukulnya bertubi-tubi.
"Enak banget ngomong tahanin-tahanin. Coba lo yang tinggal di sana!"
"Lun ampun ih bar-bar banget! Sakit woy!"
Aku tidak peduli. Rasanya ingin melampiaskan rasa kesal ini kepada Mahesa saja. Memukulnya sambil kemudian air mataku menetes lagi. Aku menangis lagi. Pukulanku melemah dan Mahesa berhasil melepaskan diri.
"Ih, kan. Cengeng banget. Kenapa nangis lagi, sih? Ini mahasiswa apa bayi sih?"
Tangisku semakin kencang mendengar hinaan Mahesa padaku. Aku memang cengeng. Bisanya menangis saja kalau sudah dikondisi sangat kesal seperti ini. Sudah tidak sanggup bicara lagi. Bahkan tidak sanggup memukul Mahesa lagi.
"Lun, udah-udah. Nanti kita cari jalan keluarnya, ya." Ayana menarikku ke dalam pelukannya. Mengusap punggung belakangku.
Tangisku tidak mereda juga. Ini benar-benar menyebalkan. Beberapa hari yang lalu aku dimarahi Pak Brata di grup kos karena lupa mencabut colokan mesin cuci. Kemudian tadi di kelas saat aku sedang kaget-kagetnya bertemu beliau di sana, Pak Brata memergokiku bermain ponsel. Papa membohongiku dan sama sekali tidak mau luluh padahal anaknya sudah menangis seperti ini.
Rasanya menderita sekali kehidupan ini.
"Luna udah ih jangan nangis." Mahesa memegang tanganku yang langsung aku tepis. Dia juga menyebalkan karena terlalu menyepelekan penderitaanku di kosan.
Sebelum dia bersedia menghubungi Papa, dia mengatakan beberapa kalimat yang begitu menyebalkan. Membuatku ingin mencabik-cabik mulutnya saking kesalnya.
"Ya ampun, Lun. Cuman Pak Brata doang. Masa sama Pak Brata saja takut?"
"Itu mah cuman ditegur biasa doang. Masa ditegur begitu doang baper?"
"Ya udah sih kalau nggak punya temen di kos. Lo kan masih bisa main sama Ayana, main sama gue."
"Udah disabarin aja. Makanya jangan jutek-jutek sama orang lain. Coba bersosialisasi. Jangan malu negur duluan. Kalau ketemu tetangga, ajakin ngobrol biar deket."
KAMU SEDANG MEMBACA
Diucapkan Saat Sedang Jatuh Cinta
Teen Fiction"Kalau umur gue udah 25 tahun dan gue belum menikah, lo nikahin gue ya?" "Enggak mau ah, lo tepos!" Cerita ini tentang Mayluna dan Mahesa yang sudah mengenal dan menjadi teman sejak mereka masih berada dalam kandungan. Ketika tiba waktu kuliah, kedu...