"Bunda, Kakak katanya mau pulang naik motor. Kalau pulang naik motor 5 jam lebih, Bun. Lama banget soalnya kan nggak bisa lewat tol. Harus lewat bogor."
"Ya, naik motor mana bisa lewat tol sih." Mahesa mendelik kesal menatapku.
Aku hanya memeletkan lidah membalasnya. Tidak peduli raut kesalnya karena aku mengadukan rencana tidak baiknya itu pada Bunda.
"Kalau Kakak pulangnya naik kereta juga nanti motornya ditinggal, rawan Bun. Sekarang banyak banget loh kasus pencurian motor anak-anak kost." Mahesa membela diri. "Lagian Kakak bareng sama teman, Bun. Dia naik motor juga. Berangkatnya juga pagi biar sampai Jakartanya nggak malem."
"Apalagi kan nanti siang-siang di jalan. Mataharinya terik banget. Nanti kulitnya kebakar merah-merah, ruam-ruam. Nanti ngadu deh." Aku kemudian menirukan suara Mahesa—lebih kepada mengejeknya kala tengah mengadu pada Bunda. "Bunda ... kok kulit kakak merah-merah, ya? Perih banget Bun rasanya."
Kemudian, jeweran di telinga lah yang aku dapatkan sebagai balasannya. Aku tertawa meski telingaku sedikit sakit. Tidak lupa bagaimana Mahesa yang mengadu pada Bunda ketika kami berenang saat SMP dulu. Berenang di siang bolong dan berakhir wajah merah-merah dan kulit ruam karena terpapar sinar matahari langsung.
Aku kemudian menjauhkan tubuh, tidak mau kena jeweran si galak itu lagi. Membiarkan Mahesa menguasai ponsel yang tengah tersambung panggilan video dengan Bunda di Jakarta. Libur semester sudah akan tiba dan kami tengah bersiap untuk pulang ke rumah. Bertanya pada orang-orang rumah mau oleh-oleh apa.
"Iya, Kak. Kamu naik kereta aja lah biar aman. Biar Luna ada temennya juga. Kamu naik motor Bunda ngeri ih Kak. Lama banget perjalanannya."
Aku tersenyum puas mendengar Bunda yang berpihak kepadaku. Meski kembali dapat delikan kesal dari Mahesa karena lagi-lagi dia jadi pihak yang bertentangan dengan Bunda.
"Bun, Kakak kan udah kuliah, Bun. Tahun ini udah mau 19 tahun. Lagian Kakak kan sering motor-motoran, Bun. Waktu SMA juga Kakak ke puncak bawa motor." Pembelaan Mahesa yang membuatku mencibir. Dia memang pernah main jauh-jauh sekali waktu SMA dulu sama teman-temannya yang sekarang sudah entah pada di mana. Dia juga pernah naik gunung dan pulang dengan wajah gosong menghitam.
Mahesa memang lebih sering berpetualang dari pada aku.
"Jangan dikasih, Bun. Luna udah tanya beberapa orang kalau naik motor itu nanti lewat Purwakarta dan itu jalan lintas, Bun. Banyak truk-truk besar yang lewat." Aku mengadu lagi.
Mahesa mendelik lagi. Kali ini tatapannya lebih tajam seakan menyorotku dengan pisau tersembunyi. Namun tentu aku tidak takut. Aku tidak akan membiarkannya pulang dengan motor dan aku sendirian naik kereta.
Karena aku ... tidak berani pulang sendiri naik kereta. Dan tentu saja tidak mau pulang naik motor dengan Mahesa. Duduk di atas motor besarnya itu selama 5 jam lebih perjalanan. Lebih baik naik kereta yang tidak sampai 4 jam. Bisa tidur dan tidak kepanasan.
Pokoknya Mahesa harus pulang naik kereta bersamaku. Titik.
*__*
Aku tidak peduli Mahesa cemberut sepanjang perjalanan. Seperti yang biasa terjadi, aku lah pemenangnya dan Bunda Rania masih berada di pihakku. Mahesa gagal mendapatkan izin dari Bunda untuk pulang membawa motor dan akhirnya naik kereta bersamaku. Motor besarnya itu ia titipkan di kosan Adul yang tidak pulang ke Tasik liburan semester ini.
"Kak mau nggak?" Aku menawarkan Pop Mie kepadanya. Masih wajah merengut dengan mata terpejam dan tangannya di lipat di depan dada. Dia tidak tertidur kok. Aku tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diucapkan Saat Sedang Jatuh Cinta
Ficção Adolescente"Kalau umur gue udah 25 tahun dan gue belum menikah, lo nikahin gue ya?" "Enggak mau ah, lo tepos!" Cerita ini tentang Mayluna dan Mahesa yang sudah mengenal dan menjadi teman sejak mereka masih berada dalam kandungan. Ketika tiba waktu kuliah, kedu...