"Ih, malesin banget, Lun. Si Revi pakai segala ikutan lagi."
Aku mengingat simpul terakhir tali sepatuku sebelum kemudian berdiri. Merapikan kemejaku dan juga memeriksa kembali isi yang ada di dalam tas.
"Dia tuh pasti mau modus doang sama Mahesa. Ngeselin banget nggak sih? Ngapain juga coba kakak tingkat pakai ikut-ikutan acara kita?"
Aku menoleh, menatap Ayana yang sejak tadi ikut menggerutu.
"Kan vilanya punya Om dia, Ay," balasku.
"Ya iya, sih." Ayana yang sejak tadi duduk itu kemudian ikut berdiri. Bersiap denganku keluar dari gerbang kost-kostan. "Dharma juga nyebelin banget. Kenapa sih kita harus di vila dia? Kaya gak ada vila lain aja."
"Kalau di sana kan dikasih murah. Biar kita nggak mahal-mahal iurannya."
Ayana menghela napas. Gadis itu mengikuti langkahku keluar. Kami hendak menuju taman hijau—taman yang ada di depan kampusku yang dituju sebagai titik kumpul keberangkatan hari ini. Hari ini, kami akan melakukan survei vila untuk makrab. Sesuai yang Ayana ributkan sejak tadi, kami akan makrab di vila milik keluarganya Revi. Dikasih murah makanya Dharma setuju untuk makrab di sana. Meski ya, harus kuakui sedikit menyebalkan karena Revi jadi banyak ikut campur yang salah satunya adalah survei vila ini.
Sepanjang perjalanan, aku dan Ayana mengobrol beberapa hal. Seperti Abangnya Ayana yang cukup cerewet dan protektif dan sudah berpesan bahwa Ayana tidak boleh pulang sampai malam. Hingga kemudian kami tiba di taman hijau. Sudah ada Mahesa, Dharma dan Adul di sana.
"Lelet banget." Suara ketus Mahesa menyambut kami. Aku hanya membalasnya dengan memutar bola mata tidak peduli saja.
"Kalau gue jadi nyokap lo ya, Sa, udah gue cabein itu mulut." Jelas berbeda dengan Ayana yang tidak terima ikut kena getah mulut ketusnya Mahesa.
Aku hanya mengedikkan bahu santai. Membiarkan Ayana yang melotot pada Mahesa menyerukan kekesalannya. Memang sepertinya hanya Ayana yang tidak termakan oleh wajah tampan Mahesa karena dia sudah lebih dulu tidak menyukai sikap Mahesa yang dinilainya semena-mena terhadapku.
"Lun," panggil Mahesa.
Aku hanya menoleh. Sama sekali tidak berminat menghampiri laki-laki itu yang duduk di motor besarnya. Lebih baik duduk di atas trotoar sambil menunggu satu personil lagi yang lebih lelet dariku. Revi.
"Lun," panggil Mahesa lagi.
Aku menoleh kesal. "Apa, sih?"
"Sini."
Bersungut-sungut, aku pun berdiri. Menghampiri si ketus itu yang tidak mau susah sama sekali padahal dia yang butuh. Mahesa mengeluarkan ponsel dan dompetnya dari saku. Menarik tas selempangku dan memasukkan dua benda itu ke dalamnya.
"Ih, apaan!" Aku tidak terima. "Berat, ih! Bawa sendiri."
Hendak kukeluarkan lagi barang-barang Mahesa itu tapi laki-laki itu lebih dulu mengambil alih tasku.
"Nitip," katanya.
"Nggak mau. Berat bawanya."
"Ya ampun cuman dompet sama hp doang. Manja banget."
"Ngaca coba siapa yang manja? Kalau cuman dompet sama hp doang ngapain nitip-nitip di tas orang?"
Mahesa berdecak. "Nggak inget kata bunda? Nggak boleh taro hp di kantong celana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Diucapkan Saat Sedang Jatuh Cinta
Fiksi Remaja"Kalau umur gue udah 25 tahun dan gue belum menikah, lo nikahin gue ya?" "Enggak mau ah, lo tepos!" Cerita ini tentang Mayluna dan Mahesa yang sudah mengenal dan menjadi teman sejak mereka masih berada dalam kandungan. Ketika tiba waktu kuliah, kedu...