"Memangnya nggak apa-apa? Nanti kalau kosannya udah ketemu terus Papa nggak kasih pindah bagaimana?"
"Nggak apa-apa. Kan nggak langsung pindah. Cari dulu kosannya terus jelasin ke Papa kalau kosan yang kita cari ini begini-begini. Kosannya juga aman dan sebagainya. Nanti biar Papa nilai sendiri kalau kosan yang baru juga aman untuk lo."
Aku mengangguk. Mahesa ada benarnya juga.
"Lo coba tanya-tanya sama yang lain juga soal kos-kosan. Atau cari di instagram atau di mana gitu. Jangan yang terlalu jauh dari kampus, harus ada jam malamnya, terus juga yang aman lah pokoknya buat cewek."
"Ih, percuma dong kalau masih ada jam malamnya juga?"
Aku protes. Ada jam malam itu tidak enak sama sekali. Bukan berarti aku berencana untuk pergi sampai tengah malam. Tapi kan semisal ada kondisi yang mengharuskan aku pulang malam, aku jadi tidak bisa dan tidak tahu akan tidur di mana kalau kosan sudah benar dikunci. Seperti beberapa waktu yang sudah pernah aku alami.
"Gue nggak yakin sih Papa akan kasih kalau nggak ada jam malam. Yang Papa takutin kan lo keliaran pulang sampai malam."
"Memangnya mau keliaran ke mana sih malem-malem," gerutuku.
"Ya udah yang penting rencana kita begitu dulu."
Aku manggut-manggut. Mahesa membawaku keluar selesai jadwal di lab sore tadi. Kami langsung pergi dan tidak kembali dulu ke kosan. Dia berjanji mengajakku ke salah satu kedai kopi dan di sinilah kami. Memesan beberapa minuman dan makanan ringan untuk dimakan bersama.
"Tapi coba pertimbangin dulu kata-kata Ayana. Dia bener juga. Kalau lo pindah sekarang banget, pertama, sayang biaya kosan lo karena lo kan kosnya tahuhan. Kedua, mau bagaimana nanti kalau ketemu Pak Brata di kelas? Kan nggak enak juga lo jadi mahasiswanya di kelas sekarang tapi udah pindah dari kosan."
Aku manggut-manggut lagi. Ini juga ada benarnya dan sepanjang jalan menuju kedai kopi ini, aku sedang mempertimbangkannya.
"Tapi kalau nggak pindah ... gue nggak betah banget. Di sana nggak ada teman."
Mahesa malah berdecak. "Sejak kapan sih lo butuh temen? Dari TK juga temen lo cuman gue."
Aku mengerucut kesal. Ya, Mahesa benar, sih. Jangankan di kos. Di kelas saja aku tidak memiliki teman akrab satu pun. Hanya mengenal nama dan berbicara seadanya. Ya, sama lah seperti yang aku lakukan saat SMP atau pun SD dulu.
"Lagian dulu sebelum kuliah kayaknya berapi-api banget ngomong mau dapet temen banyak. Nggak mau temenan sama Mahesa doang, bahkan nggak mau temenan sama Mahesa lagi."
Aku memukul lengannya. Realita nyatanya tidak seindah rencana. "Ya itu kan karena lo resek!"
"Lebih resek elo. Lo nggak nyadar?"
Ih, dia memang menyebalkan sekali.
"Ditambah cengeng, lagi. Kenapa sih, lo dikit-dikit nangis?" tanyanya menyebalkan.
"Ya namanya manusia kan punya hati. Memangnya hati lo, terbuat dari batu."
"Dari batu juga masih ada kan tapi hatinya. Nih, buktinya gue bawa lo ke sini? Masih kurang baik hati?"
"Iya-iya Tuan yang baik hati. Terimakasih deh sudah menghibur Mayluna yang cantik ini." Aku tersenyum imut. Ya, dia memang baik meski kadang-kadang. Moodku juga sudah jauh lebih baik karena Mahesa membawaku jalan-jalan.
Pose wajah imutku itu malah membuatnya pura-pura mual. Memperagakan adegan seperti hendak muntah yang membuat aku memukul lengannya dengan sendok yang baru saja akan kugunakan untuk mengambil cheesy browniesku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diucapkan Saat Sedang Jatuh Cinta
Novela Juvenil"Kalau umur gue udah 25 tahun dan gue belum menikah, lo nikahin gue ya?" "Enggak mau ah, lo tepos!" Cerita ini tentang Mayluna dan Mahesa yang sudah mengenal dan menjadi teman sejak mereka masih berada dalam kandungan. Ketika tiba waktu kuliah, kedu...