10. Akhirnya...

8 5 3
                                    

Kini Avi berada di dalam ruang Uks, terbaring tak berdaya di atas brankar pasien. Dan Mark duduk di sofa dengan Hana dan Ana yang menemani.

"Apakah tuan Avi memiliki penyakit berbahaya?" tanya Hana dengan raut wajahnya yang sangat khawatir.

"Sebenarnya ... kakak tidak pernah bisa tidur ketika malam hari, dan walaupun bisa tidur tidak pernah nyenyak. Tapi tidak ada yang bisa mengobatinya mau itu dokter ataupun penyihir, penyakit yang di derita kakak juga tidak jelas bagaimana dan apa penyebabnya ... tapi, aku mohon jangan katakan tentang ini kepada siapa pun, aku percaya kepada kalian," jelas Mark panjang lebar, Hana mendengarkan dengan raut wajahnya yang semakin pucat pasi.

Terlihat sekali, apa kau menyukainya nona Hana Rin Alsilyan?

'Penyakit macam apa itu? Apa mungkin trauma?' Ana hanya membatin, ia tak mau terlalu ikut campur. Yang lebih penting sekarang ia menemukan titik terang di balik misteriusnya putra mahkota itu.

Tring ... tring ...

Suara lonceng masuk berbunyi, sudah waktunya para murid kembali ke kelasnya masing masing untuk melanjutkan pembelajaran.

"Ah, bel sudah berbunyi," ucap Hana ditengah tengah heningnya ruang Uks itu.

"Kalian pergi kembali saja ke kelas, aku yang akan menjaganya," entah apa tujuannya Ana mengatakan itu, Mark terdiam beberapa saat tampak berfikir. Sampai akhirnya ia menganggukan kepalanya.

"Kalau begitu aku titip kakak dulu nona Diexa, aku dan nona Hana akan segera kembali setelah waktunya pulang," putus Mark, Ana membalasnya dengan anggukan Mark pun segera menarik Hana untuk segera pergi meninggalkan ruang Uks.

Ruang uks kini kembali hening, hanya ada suara angin yang berhembus, dan suara rintihan dan nafas bergemuruh dari Avi yang terbaring.

Ana segera berdiri mendekati kasur yang Avi tempati, Ana sampai merasa kasihan karena kondisinya sangat memprihatinkan. Keringatnya yang tak berhenti mengucur, nafasnya yang tersengal, dan tubuhnya kini demam.

"Tuan Avi, apa anda bisa mendengar suara saya?" tanya Ana, sebenarnya sedari tadi Ana tahu laki laki ini hanya pura pura tertidur agar adiknya tidak merasa cemas, dengan nafasnya yang ia atur setenang mungkin.

Avi pun mengangguk dengan susah payah, tangan Ana terulur mengecek suhu tubuh laki laki itu.

"Anda sepertinya mengalami demam yang sangat tinggi, apa nafas anda terasa sangat sesak?" tanya Ana lagi, dan dengan susah payah Avi mengangguk kembali.

'Tidak salah lagi ini disebabkan karena trauma atau stres yang berkepanjangan, tapi sepertinya dia tidak pernah mengikuti terapi apapun sampai tubuhnya selalu bereaksi karena mengingatnya dengan sangat jelas,' Ana membatin untuk beberapa saat, lalu ia segera mengambil air minum yang berada di atas nakas untuk ia minumkan kepada Avi.

"Apa tuan bisa bergerak sedikit saja? Setidaknya mengangkat kepala untuk minum." Akhirnya mata yang sedari tadi terpejam itu terbuka dan menatap Ana. Avi sekarang terlihat sangat menyedihkan dan kaishan dengan kedua matanya yang terlihat sangat sayu, Ana pun segera membantu Avi untuk minum dan setelahnya kembali membantu Avi untuk berbaring.

"Biasanya anda meredakan rasa sakit ini dengan apa?"

"Si-hir ... pe-nyang-kal ..." setelah mendapat jawaban Ana hanya mengangguk anggukan kepalanya.

"Hoho ... baiklah tuan, percayalah pada saya, saya bisa membantu anda di beberapa hal. Seperti penyakit apa yang anda derita atau semacamnya. Oke, apakah anda mempunyai trauma?" Ana tersenyum dengan jari lentiknya yang ia tempelkan di dagu.

Kondisi Avi kini lebih baik, nafasnya sudah mulai menenang tapi demamnya masih tinggi, setidaknya ia bisa berbicara dengan lancar, "Aku bahkan tidak ingat masa kecilku,"

"Lalu orang tua anda?"

"Mereka masih a ...." ucapannya terjeda, lantas Ana mengerutkan dahinya.

"Ada apa? Em ... atau mungkin anda mempunyai teman ketika kecil," Avi mengangguk, Ana kembali bertanya, "Perempuan atau laki laki?"

"Perempuan,"

"Kemudian, apakah teman anda itu ikut bersekolah disini atau bagaimana?" Ana menopangkan dagunya dikedua lipatan tangan, di pinggir kasur.

"Dia ada di ..." Ana kembali mengernyitkan dahinya, Avi selalu mudah memberikan jawaban tetapi seolah tidak ingat mereka dimana dan bagaiamana kondisinya.

"Kenapa tuan? Apa anda tidak tahu orang tua dan teman anda ada dimana?" Ana mengangkat kepalanya, Avi kembali diam lalu ia pun mengangguk.

"Saya ingin bertanya lagi, tapi mungkin anda merasa sedikit terganggu. Em ... saya ingin tahu perempuan seperti apa teman anda itu, apa kesukaannya, warna rambutnya, warna matanya, dan lain sebagainya?" Ana menegakkan badannya menunggu jawaban apa yang akan Avi berikan, belum tentu ia tahu tapi penasaran saja.

"Dia orang yang baik, manis, dan cerewet. Dia satu satunya orang yang selalu membutuhkan bantuanku, dan satu satunya orang yang bisa kubantu. Matanya indah seperti langit yang cerah, rambutnya juga sangat mirip apel hijau, ouh iya ketika senyum ia akan semakin cantik karena gigi gingsulnya, haha ..."

"Dia adalah orang kedua yang selalu menemaniku setelah ayah dan ibu. Dia juga satu satunya orang yang kuberikan janji, dan dia juga ..."

"Dia juga orang yang selalu menungguku datang, walau harus lama menunggu di atas kursi yang selalu ingin aku dorong kesana kemari ..." tanpa sadar seulas senyuman menghiasi muka pucatnya, sedangkan Ana yang mendengarnya semakin yakin dengan praduganya.

'Jangan jangan ....'

"Maaf tuan Avigradulion saya berbuat lancang, tapi mohon maaf saya hanya ingin mengecek sesuatu," tanpa menunggu izin Ana segera membuka satu persatu kancing seragam yang Avi kenakan. Avi yang merasa kancing pakaiannya dibuka pun mengerutkan dahinya.

'Jika kau memang dia, seharusnya kau memilikinya. Ya jika itu mungkin dan jika kau memang dia, kau pasti memilikinya, aku mohon ...' Ana masih terus membuka kancing seragam itu sampai ...

Brugh! ...

"Apa ... yang akan ... kau lakukan?" suara yang berbisik nan menusuk itu berhasil membuat Ana terdiam beberapa saat mencerna keadaan yang ia alami sekarang. Ana tidak menyangka putra mahkota ini masih menyimpan stamina yang tersisa, dan menggunakannya untuk mendorong Ana hingga tertimpa oleh tubuh Avi sampai berbenturan dengan lantai.

Kedua tangan Avi melingkar di leher Ana, bersiap untuk mencekiknya.

Ketika Ana menatap mata Avi, ia terkejut karena sekarang Avi seperti binatang buas yang siap memakan mangsanya, dan tatapan tajam dengan penuh aura mengintimidasi itu berhasil membuat tubuh Ana terkunci tak bisa melakukan apapun.

Kini mata Ana menurunkan pandangannya ke arah pakaian terbuka itu, badannya yang gagah itu sekarang terlihat jelas oleh Ana dengan terbentuk beberapa kotak di bagian perut.

Namun yang berhasil membuat Ana tertegun adalah sebuah bekas luka di bagian bidang dada kanannya, rasa penasaran Ana semakin meningkat. Salah satu tangannya yang sedari tadi menahan tekanan dari tangan kekar yang melingkari lehernya itu, terlepas. Ia sangat ingin menyentuh luka itu.

Tep ...

Tangan kirinya kini berhasil menyentuh bekas luka itu, sepertinya luka ini sangat parah sampai meninggalkan bekas yang sangat dalam.

Ketika Ana mengusapnya suara ringisan keluar dari mulut Avi, dan tubuhnya kembali bergetar hebat bahkan tangan yang sedang mencekik leher Ana juga ikut bergetar.

"Aku menemukanmu ... aku berhasil ... aku berhasil menemukanmu. Hiks ... aku sudah lama menunggumu ... Hiks ..." lirihan Ana membuat Avi yang tadi kembali mengeratkan cekikannya itu berhenti. Avi terdiam melihat butiran butiran kristal yang kini berjatuhan dari mata teduh Ana, senyumannya sangat tulus yang membuat nafasnya terasa semakin sesak.

Tbc.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 16, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

What is Transmigration?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang