Juara 2 Event Writora: Get Your Prompt! 🥈
[Part Tidak Lengkap]
Kematian Ketua Partai Perjuangan Demokrat, Guritno Adjamada, menjadi masalah baru menjelang pemilu presiden periode selanjutnya. Raka, yang merupakan penjual roti, dituduh melakukan pem...
"Politisi senior, ketua partai Perjuangan Demokrat, Guritno Adjamada dinyatakan meninggal dunia pada 20 September 2018 setelah tubuhnya ditemukan tewas pada pukul empat pagi dini hari di kediamannya. Guritno dinyatakan dibunuh oleh salah satu tamunya. Namun, hingga saat ini, para polisi masih melakukan pemeriksaan lebih lanjut."
Toko roti yang biasanya tercium aroma lezat kini hanya menyisakan aroma apek dari keringat para aparat kepolisian yang berjaga. Garis polisi melintang seluas ukuran toko roti tersebut. Sisa-sisa roti yang ada di etalase mulai diangkut untuk dilakukan penyelidikan. Beberapa warga memperhatikan aktivitas dari aparat kepolisian tersebut, lantas bertanya-tanya ke mana pemuda pembuat roti yang biasanya berjaga di toko roti kesayangan mereka.
"Kita harus pergi, sekarang!"
Beberapa jam yang lalu, pukul setengah lima pagi, sejumlah aparat kepolisian mulai memperhatikan gerak-gerik di toko roti bernama Deluna. Mereka menerima panggilan darurat dari keluarga kerabat Guritno yang menyatakan bahwa mereka tahu siapa pelaku pembunuh Guritno.
Yudhistira, salah satu mata-mata Exintent, membawa kabur Raka ke tempat persembunyiannya setelah mendapat perintah resmi dari intel Exintent.
Mendapati gerak-gerik yang mencurigakan, para polisi mulai menyebar dan berusaha menangkap Raka yang sudah pergi dengan cepat menggunakan motor giginya. Namun, setelah empat jam sejak surat perintah penangkapan dikeluarkan, Raka tidak ditemukan oleh aparat daerah mana pun.
"Kita ngebahasnya dengan damai! Kita sampai makan malem bareng, Dis!"
Di rumah persembunyian, keringat dingin mulai mengucuri tubuh Raka. Isi kepalanya dipenuhi dengan banyak hal. Ia tidak tahu menahu atas kematian ketua partai sekaligus informan penting bagi Kotak Berita. Beberapa data kepentingan milik Exintent sudah dibawa oleh Raka dan Yudhistira saat mereka kabur dari pengawasan polisi.
"Jam berapa lu pulang dari rumah Guritno kemaren?" Yudhistira mulai bersuara saat mereka memasuki rumah yang berada di pinggiran kota Bogor, menjauhi daerah Cibinong.
"Sepuluh atau setengah sebelas. Yang pasti Maya masih beres-beres buat nutup toko. Kenapa mereka langsung nuduh gue? Buktinya apa? Mereka punya cctv di rumah sebesar itu! Bahkan Guritno sampai nungguin gue pulang di depan rumahnya!"
Yudhistira, lelaki berkacamata petak dengan jas hitamnya itu menatap Raka dengan serius. "Tenang. Maya sama Yohan bentar lagi datang. Kita diskusiin ini sama-sama."
"Pradipto ngomong apa sama lu?"
Yudshistira menoleh sebentar, lantas berlalu ke ruangan lainnya. "Untuk sementara sebunyikan Raka selagi menunggu hasil wawancara."
"Nggak masuk akal, bangsat! Udah jelas, mereka bisa cek CCTV-nya!"
"Gue bilang tenang, Ka!" Yudhistira kembali mendekat. Ia menatap lelaki berambut panjang itu dengan kesal. "Kita gak bisa bahas itu, sekarang! CCTV dengan jelas nunjukin kalau lu yang bunuh Guritno! Bukti ada, motif ada! Semua itu jelas ngarah ke lu, kalau lu yang bunuh Guritno sebenarnya!"
Raka menatap pemuda yang ada di hadapannya itu dengan kesal, lali menunjuk dada Yudhistira, membuat laki-laki itu mundur beberapa langkah. "Terus, lu percaya gitu? Udah gue bilang, gue enggak bunuh Guritno, bangsat!"
"Itu yang lu bilang, tapi enggak dengan buktinya!"
"Kenapa lu malah nyolot, sih? Siapa tau itu editan!"
Hening. Teriakan terakhir dari Raka membuat Yudhistira tersadar. Benar. Bisa saja CCTV itu diedit begitu saja. Namun, Yudhistira tetap berpikir jika semua itu mustahil bahwa CCTV diedit dalam waktu beberapa jam.
"Enggak ada yang mustahil, Dis. Ini 2018, udah banyak aplikasi yang bisa ngedit segalanya dengan ilmu tertentu."
Raka menoleh ke asal suara. Di pintu masuk, Yohan dengan jas coklat dan sepatu pantofelnya sudah berjalan menuju arahnya. Begitu juga dengan Maya. Wanita itu menggunakan seragam putih, layaknya seorang guru honorer.
"Polisi udah ngeluarin surat perintah penangkapan. Semua bukti udah dikumpulin dan motif udah ada. Tapi alibi, enggak ada. Karena lu keburu kabur sebelum polisi nanya lu, jadinya mereka semakin yakin kalau lu yang bunuh Guritno." Yohan bersuara lagi, kemudian memberikan beberapa lembaran kertas yang ia dapat dari hasil penyelidikannya setelah dipanggil ke TKP beberapa jam yang lalu.
"Apa tuduhannya bisa dihilangkan?" Maya bersuara sembari melepaskan seragamnya.
Yohan tidak mengangguk apa lagi menggeleng. "Tuduhannya bisa lepas kalau bukti yang ditemukan dan kesaksian yang diberikan itu palsu. Bisa juga kalau ditemukan tersangka lainnya. Tapi, di negri ini, pencabutan tuduhan secara langsung tidak akan mungkin terjadi dengan cepat, ngurusnya susah. Bisa-bisa kita dituduh melindungi pelaku pembunuhan. Semuanya akan percaya begitu saja meskipun bukti video CCTV adalah editan."
"Jasad Guritno ditemukan pukul empat pagi dini hari. Sedangkan hasil otopsi menyatakan kalau Guritno udah meninggal selama empat hingga lima jam sebelum ia ditemukan," tambah Yohan.
"Anjing! Ini bukan gue! Kayak mana ceritanya gue yang bunuh?" teriak Raka tidak percaya saat melihat sejumlah barang bukti yang ada dilaporan.
"Identifikasi sidik jari ada di garpu yang ditemukan di lantai kantornya Guritno. Buktinya jadi semakin memperkuat atas tuduhannya."
Raka frustasi, napasnya menderu kencang, ia berulang kali mengacak-acak rambutnya, berusaha memikirkan sesuatu. Namun, tidak ada apa pun yang terlintas di pikirannya. Ia buntu oleh kepanikan yang sedang terjadi.
"Berita kematian Guritno sudah mulai tersebar di berbagai situs, termasuk tersangka pembunuhan. Saat ini Raka udah dinyatakan sebagai buronan dan sedang dalam pengejaran oleh pihak berwajib. Cepat atau lambat, seluruh Indonesia bakal tau mukanya."
Suara hening yang menjadi-jadi tiba-tiba dikagetkan dengan suara telepon masuk di ponsel milik Yohan. Ia mengangkat panggilan tersebut, lantas mulai mendengarkan siapa yang berbicara.
"Perintah resmi, pada siapa pun yang sedang bersama Raka untuk melakukan persembunyian lebih lanjut sampai semua bukti ketidakbersalahan Raka terkumpul."
Bukan Pradipto yang bersuara, itu adalah suara perempuan yang sangat cempreng dan terdengar sangat malas untuk berbicara dengan siapa pun.
"Lalu apa?" balas Yohan, ia butuh tambahan perintah lainnya, tidak hanya bersembunyi saja.
"Ah ... Yudhsitira Nugraha dan Maya Batari diberikan misi resmi untuk menjaga Raka Pramudya dan bersembunyi. Yohannes Diwangsa dan Arief Aswangga diberikan misi resmi untuk mengusut kasus Raka dan mencari informasi untuk menghilangkan tuduhannya, karena atasan percaya kalau Raka tidak bersalah. Lalu, Tiga serangkai, Yohannes Diwangsa, Abraar Maulana dan Dara Garini akan melakukan rapat dengan petinggi lainnya di waktu yang akan ditentukan dalam enam jam lagi. Sampai kabar selanjutnya, tidak ada perintah lainnya. Dimohon kerja samanya kepada para seluruh Exintent yang sedang terbebas dari misi," jelas gadis di sebrang telepon itu.
Lalu panggilan dimatikan secara sepihak tanpa menunggu balasan lainnya dari siapa saja yang mendengar perintah tersebut. Wanita itu, wanita administrator selalu terlibat dalam hubungan kontak secara tidak langsung jika kasus seperti ini terjadi dan semua yang ada di Exintent tahu itu jika kasus ini telah menjadi kasus besar.
Setelah itu, semuanya hanya terdiam mendengar perintah resmi tersebut. Memikirkan rencana mereka selanjutnya. Dengan adanya perintah tersebut, Exintent lainnya sudah dipastikan mengetahui ke mana hilangnya salah satu jembatan informan penting mereka. Tidak perlu berbicara secara langsung, cepat atau lambat, petinggi Exintent akan memberikan perintah baru lainnya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.