Juara 2 Event Writora: Get Your Prompt! 🥈
[Part Tidak Lengkap]
Kematian Ketua Partai Perjuangan Demokrat, Guritno Adjamada, menjadi masalah baru menjelang pemilu presiden periode selanjutnya. Raka, yang merupakan penjual roti, dituduh melakukan pem...
"Mereka bilang lu boleh ikut penyelidikan selama bergabung dengan Om Arief dan dalam pengawasan kami."
Sudah dua jam sejak mereka melakukan perjalanan untuk kembali ke Bogor dan membatalkan perjalanan ke Pangkal Pinang. Kemarin, sebelum Yudhsitira pergi dari persembunyian, Raka mengatakan akan membatalkan perjalanan menuju Pangkal Pinang dan menginginkan kembali ke Bogor untuk ikut penyidikan. Meskipun awalnya Yudhistira menyatakan ia tidak mau, pada akhirnya pemuda berkacamata itu menanyakannya pada atasannya sendiri.
"Tapi, datangin TKP bukannya terlalu mencolok?" Maya bersuara, ia berulang kali menoleh ke kursi belakang saat Raka sudah sibuk dengan sekantong plastik hitam di sana.
Yudhistira menghela napas kasar. "Nyamar. Pradipto ngasih itu tadi. Kalau gak salah rambut palsu, masker, sama baju apa, gak jelas."
Maya menahan tawanya saat melihat Raka telah selesai menggunakan jaring rambut dan menggunakan rambut palsu berwarna kuning. "Ketara banget anjir. "Lantas gadis itu menarik rambut palsu tersebut.
"Terus lu maunya gue operasi wajah kayak Eddy Tansil gitu anjir?" Raka menatap wanita itu tidak percaya.
Yudhistira menghentikan mobil sejenak saat Maya memintanya. Maya pindah ke kursi belakang lalu perjalanan kembali berlanjut. Gadis itu mulai memberikan riasan pada Raka yang beberapa kali terus ditolak oleh Raka.
"Ini dasar doang, gak yang sampe kayak banci, serius," ujar Maya dengan tawa kecil.
"Lu sampe ketawa gitu pasti aneh, kan? Gak, gak, gue make masker aja." Lalu Raka meraih air dari botol, menuangkannya pada handuk kecil dan ia menghapus riasan dari Maya. Ia bersungut-sungut saat beberapa riasan tidak bisa hilang. Maya hanya tertawa menatap lawan bicaranya itu.
"Bentar lagi kita sampai."
Keduanya kembali terdiam ketika Yudhistira bersuara. Pandangan mereka kini beralih pada jalanan. Mereka baru saja keluar dari tol, menandakan bahwa tinggal beberapa menit lagi hingga mereka akhirnya akan sampai ke toko roti Deluna. Tempat tujuan pemberhentian pertama mereka.
Kembali ke Bogor adalah rencana bunuh diri dan Maya tahu itu. Bahkan Raka juga sadar atas permintaannya itu. Namun, sejak dinyatakan sebagai pembunuh, ia jadi pergi terlalu mendadak. Ia melupakan banyak hal di tokonya sendiri. Sekalipun ada puluhan polisi yang berjaga di tokonya, Raka masih akan terus meminta untuk kembali ke sana.
Semua kembali terlihat di netranya. Ruko-ruko kecil, warung makan dan juga kantor-kantor politisi yang terasa familiar. Mereka baru saja memasuki Cibinong saat mobil memutari tugu air mancur dan melewati kantor notaris. Perlahan degup jantung mulai melaju dengan cepat. Suara sirine polisi yang terdengar perlahan mengacaukan kefokusan. Hingga akhirnya mereka sampai ke toko roti yang menjadi bagian penting dalam berjalannya setiap misi yang ada.
"Kita harus nunggu Om Arief dulu. Tapi dia juga gak janji kalau kita bakal bisa masuk ke dalam." Kalimat yang keluar dari mulut Yudhistira bagaikan bom waktu yang selalu membuat siapa saja kaget kapan pun itu.
Setelah mengangguk atas kalimat Yudhistira, Raka memalingkan pandangannya, menatap toko roti kesayangannya yang tidak lagi terlihat cantik untuknya. Garis polisi, jejak sepatu, dan aroma lezat yang mungkin sudah menghilang membuatnya sedikit merasa sedih.
Mungkin, kejadian tersebut termasuk dalam salahnya. Mau seperti apa pun, Raka tetap memikirkannya seperti itu. Jika saja saat itu ia tidak datang ke rumah Guritno di luar jam kerja, mungkin ia tidak perlu bersembunyi atau menjadi buronan. Atau ia tidak perlu kehilangan toko roti kesayangannya itu. Jam kerja memang bagian yang tidak boleh ia gabungkan hanya karena frustasi akibat atasan yang memintanya mengerjakan semua tugas dengan sangat baik.
Jendela mobil diketuk pelan, lalu pintu terbuka dan seseorang masuk ke dalam kemudian duduk di kursi penumpang depan, di sebelah pengendaranya, Yudhistira. Pria paruh baya berkumis tipis dan berbadan agak berisi itu terdiam cukup lama, memikirkan kalimat pembuka yang tepat sebelum berbicara pada anak-anak muda itu.
"Berapa lama kalian bakal menetap di sini?" Pertanyaan itulah yang memulai percakapan mereka. Arief merasakan suasana tegang yang ada di antara anak-anak itu. Entah mungkin perasaan tegang karena takut ketahuan atau karena masih memikirkan apa yang harus mereka lakukan.
Raka yang awalnya memperhatikan Arief kembali mengalihkan pandangannya ke luar jendela, memperhatikan banyak kendaraan yang berlalu lalang. "Sampai ketahuan."
Arief tidak membalasnya. Ia tidak mengerti maksud dan tujuan Raka. Bahkan sejak awal permintaan tidak masuk akal yang dimintanya tidak pernah ada penjelasan yang benar.
"Om, tau gak, sekitar 70% kegiatan Exintent diberhentikan sejak kasus ini dimulai. Mereka bilang kehancuran Exintent akan segera datang dan mereka sibuk menyelamatkan diri mereka sendiri. Sebenarnya apa yang sedang diprioritaskan mereka? Acara berita? Anggota? Atau yang lainnya? Sekarang ini apa yang mau kita lakukan?" Raka terdiam lagi. Saat ini ada yang banyak yang ingin ia kaakan, entah itu bagus untuk diucapkan pada situasi itu atau tidak.
"Mungkin, Raka sendiri akhirnya tau gimana perasaan anggota lain waktu terlibat kasus yang mirip kayak gini. Lalu semuanya akan berpikir, kenapa kami dahulu mau bergabung ke Exintent. Mungkin ini yang disebut keputusasaan."
Maya menatap rekannya itu, tidak berani membalas apa-apa sama seperti yang lainnya. Ia terus memperhatikan pemuda itu, bulu mata yang lentik, tatapan kesedihan yang kemudian tatapan itu beralih padanya dan berganti lagi menatap Arief serta Yudhistira di depan.
"Raka harus apa sekarang, Om? Sembunyi gitu aja sedangkan Om dan beberapa yang lainnya lagi nyari bukti kalau Raka gak bersalah? Balik ke Bogor bukannya bisa bebas, Raka juga masih harus sembunyi dan disuruh ngebiarin Om yang gerak. Sebenarnya yang punya masalah itu siapa dan yang nyelesain itu siapa, sih?"
Raka berhenti berbicara, ia menunggu adanya tanggapan dari orang lain. Sebenarnya ia tidak berniat menyalahkan siapa-siapa, baik SOP kasus, maupun Exintent, ia justru berterima kasih atas semua bantuan yang ada. Namun, jika saja hal seperti itu terus berlanjut, Raka percaya jika akan ada korban selanjutnya.
"Kita berdiri atas satu kesatuan tujuan. Mencari keadilan. Satu untuk semua dan semua untuk satu. Mungkin organisasi ini hanyalah keegoisan yang didirikan para politikus yang tidak mendapatkan keadilan di jabatan mereka. Tapi kita di sini, semuanya tau ada banyak hal yang disembunyikan di negri ini." Arief bersuara, tatapannya tertuju ke depan ketika mobil kembali dikendarai oleh Yudhistira, membiarkan percakapan mereka berlangsung di jalanan tanpa ada yang mengetahuinya.
"Lalu, apakah dengan menggulingkan 'dia' bisa membuat keadilan itu ada di sini? Sejak awal keadilan itu memang tidak ada di negri ini. Mereka yang memiliki uang lebih, keadilannya akan lebih juga. Mereka yang jabatannya lebih tinggi, maka keadilannya lebih tinggi juga. Lantas kita yang tidak berada di dua-duanya di mana harus mencari keadilan?"
Diam lagi. Jika dilanjutkan, Raka tidak tahu ke mana percakapan mereka tertuju. Semua yang ia katakan hanyalah kekesalannya belaka.
"Kematian Guritno memang sangat disayangkan, tapi kita enggak bakal bisa nemuin pelaku sebenarnya kalau kita juga gak ngorbanin apa-apa, Om. Pradipto dan petinggi lainnya harus memutuskan, apakah ingin mengorbankan Exintent dan tetap mengejar berita atau sebaliknya. Mulai dari sini, katakan pada Pradipto buat menghentikan semua penyelidikan, saya yang akan mengurus semuanya sendirian."
Sebenarnya Arief tidak bisa mempercayai pemuda itu saat ini. Berulang kali menyatakan ia akan mengurus semuanya sendiri, tetapi tidak ada yang tahu apa yang pemuda itu lakukan. Entah sudah bergerak atau belum, malah seperti tindakan yang tidak bisa dipercaya oleh siapa pun setelah semua yang terjadi.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.