﹝05﹞‣ Pengkhianat

25 9 9
                                    

Sebuah panggilan telepon yang sudah berlangsung selama sepuluh menit itu membuat Raka tidak mau menutup panggilan tersebut. Budenya menelpon Maya yang pernah meninggalkan nomor pribadi untuk memberikan kabar jika terjadi sesuatu. Setelah mengetahui bahwa toko roti Raka berada dalam pengawasan polisi, Liza, bude Raka, melakukan panggilan ke nomor yang ditinggalkan Maya setelah mendengar bahwa Raka sebenarnya bekerja dalam pekerjaan yang sulit untuk dijelaskan.

"Kamu gak harus terlibat dalam politik seperti Ayahmu, Raka." Itu adalah kalimat yang diulangi untuk ketiga kalinya sejak panggilan telepon dimulai.

Raka mengelus tengkuknya. Ia masih duduk di atas kasur ketika panggilan itu dimulai. Ia hanya mengiyakan semua yang dikatakan budenya dari tadi. Jari di tangan kirinya sibuk memainkan sprei untuk tetap tenang meskipun jantungnya berdetak dengan sangat cepat.

"Gak pa-pa, Bude. Masalahnya bakal diselesain dengan cepat."

"Gak pa-pa gimana?" tanya wanita paruh baya itu yang lebih terdengar seperti seruan. "Mana Ayahmu sekarang? Udah tau anaknya kena kasus begini dia masih sembunyi? Ini organisasi dia, kenapa kamu yang dilibatin di sana? Udah Bude bilang buat cepat-cepat keluar dari sana, kan? Liat sekarang, emangnya dia mau tanggung jawab?"

Raka terdiam, di satu sisi ia senang ada yang mengkhawatirkannya, tetapi di sisi lainnya ia sedih ketika budenya itu mengungkit tentang ayahnya.

"Bude, sekarang semuanya udah terlanjur terjadi. Bude tenang aja, Raka bakal pulang dengan cepat. Untuk sekarang, Bude bisa sembunyi di tempat Bulek dulu atau ke rumah saudara yang lain. Jangan khawatirin Raka, semuanya bakal baik-baik aja. Raka tutup dulu, udah dipanggil sama orang sini. Assalamualaikum, Bude."

Panggilan berakhir secara sepihak, di sebrang sana, budenya masih ingin bersuara, tetapi Raka tidak ingin berdebat lagi atau membicarakan apa pun. Jarinya sibuk memblokir nomor milik budenya itu, kemudian memfokuskan dirinya terhadap masalahnya saat ini.

Kepalanya mungkin diisi oleh banyak hal. Tentang Dirinya yang tidak boleh panik juga tidak boleh kalap, dan ia tidak boleh melibatkan perasaannya untuk menyelesaikan masalah yang menimpannya itu. Jika saja ia bisa melakukannya dengan benar dari awal, ia tidak akan perlu sampai sejauh itu untuk ditolong orang lain.

Raka keluar dari kamarnya lalu mencari keberadaan dua rekannya yang lain. Ia menemukan kedua batang hidung mereka di ruang diskusi yang hanya berjarak Empat kamar dari kamarnya.

"Gue mau mengajukan untuk rencana penghapusan jejak dan pencarian bukti dari pelaku pembunuhan sebenarnya. Gue mau balik ke Bogor." Pernyataan tersebut keluar dari mulut Raka saat kedua rekannya itu menoleh padanya.

Kemarin, seperti kata Irfan, mereka akan menempati ruang bawah tanah untuk bersembunyi. Ruangan itu sama seperti di atas, hanya lebih terasa sumpek karena tidak ada udara segar yang masuk, hanya udara dari pendingin ruangan yang menjadi penyegar untuk mereka. Sirkulasi udara hanya terjadi Ketika pintu penghubung antara ruangan atas dan ruangan bawah terbuka.

Di antara rak buku yang berjejer, ada tiga kamar kosong, lalu satu kamar mandi dan satu ruang diskusi. Tidak ada pajangan rumahan yang bisa dijadikan penyegar mata untuk dilihat. Hanya ada kesuraman dan tekanan yang ada di ruang bawah tanah itu.

Di ruang diskusi yang terdiri dari 1 meja kayu berukuran 1x2 meter dan 6 kursi yang terbuat dari kayu jati. Lalu di atas plafonnya terpasang lampu berukuran sepuluh watt. Dinding-dinding berwarna coklat dengan tempelan kertas-kertas yang sudah menguning, kertas yang merupakan data dari kasus lama, tempat para mata-mata lama dahulu bersembunyi sampai kasus mereka selesai.

Raka yang sudah memulai percakapan, menatap kedua rekannya itu yang duduk saling bersebelahan dan berhadapan dengannya. "Kita gak bisa nunggu di sini sementara yang lain nyari bukti kalau gue gak bersalah."

The Innocent [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang