Raka menatap nama pemanggil, Arief di sebrang telepon sana yang tengah melakukan panggilan dengan Yohan yang terdiam tanpa berbicara apa pun setelah lebih dari tiga menit. Pria itu sibuk memijit batang hidungnya seolah sedang memikirkan sesuatu yang tidak bisa dipikirkan dengan cepat.
"Ada apa?" tanya Raka, ia jarang sekali mendapati rekannya kebingungan seperti itu.
"Mereka menemukan bukti dari pembunuh sesungguhnya."
Raka menatap Yohan dengan kaget dan ingin meminta penjelasan lebih lanjut. "Apa itu?"
"Garpu. Sejak awal Guritno memang dibunuh dengan garpu dan ditusuk beberapa kali, dan garpu yang lu pake buat makan dijadiin pengalihan dengan sidik jari di sana dan tambahan darah yang mungkin udah bercucuran dari lehernya. Terus." Yohan terdiam sejenak ia masih tidak ingin mempercayai hal lainnya yang menjadi penyebab kematian Guritno.
"Terus?"
Yohan menegak air liurnya. Ada hasil otopsi juga yang disampaikan oleh Arief dan itu di luar dugaannya. "Ada komplikasi seolah Guritno keracunan sesuatu. Nyatanya, setelah lu pulang dari rumahnya, ada tamu lain yang datang, tapi gak ada yang tau siapa orang itu dan dari mana masuknya, makanya keluarganya dan ART-nya nuduh lu sebagai pembunuhnya, karena cuma lu yang mereka lihat terakhir kali."
Raka mengerutkan dahinya, kedua alisnya bahkan saling tertaut, menampakkan seberapa keras ia berpikir. "Bukan tamu resmi. Tapi penyusup, gitu?"
Yohan mengangguk. "Mungkin mereka saling kenal atau mungkin aja tetap tamu tapi gak ada yang sadar, walau yang terakhir mustahil banget. Garpunya ditemukan di sekitar kebun belakang, jauh dari TKP, makanya penemuannya jadi butuh waktu lama karena tempat itu gak terduga."
"Tapi kalian gak benar-benar ngasih bukti itu ke kepolisian, kan? seru Raka.
"Tenang, Ka. Kita juga harus ngeidentifikasi sendiri pelakunya. Mereka yang berkhianat apa pun alasannya harus ditangkap juga." Bukan Yohan yang menjawab, tetapi laki-laki lainnya yang berada di sebrang telepon, Arief Aswangga. Ia pria berumur empat puluhan tahun, dengan suara berat khas milik pria paruh baya yang sejak tadi mendengarkan percakapan kedua pemuda itu.
"Hahaha! Om, masih bisa gerak? Gak encok lagi?" Raka tertawa renyah, setelah mengkhawatirkan segalanya, ia memilih melakukan gurauan pada pria paruh baya itu. Melupakan percakapan serius tadi sejenak dan membiarkan suasana menjadi ringan sejenak.
"Begini-begini saya masih bisa silat, Raka. Sudah lama tidak ketemu tapi kamu malah begini," balas Arief. Ia tidak habis pikir jika selalu dipanggil dengan sebutan 'om' oleh pekerja yang lebih muda darinya, padahal umurnya sama seperti petinggi lainnya walaupun jabatannya tidak begitu tinggi.
Raka tertawa lagi lalu berhenti ketika Yohan menyuruhnya. "Terima kasih Om atas bantuannya."
Arief tersenyum simpul. Meskipun hanya berjarak dua puluh tahun, ia tahu seberapa penting Raka untuk Exintent. Pemuda itu mungkin memasuki jalan yang salah, tetapi bukan berarti ia berani membunuh seseorang. Ia tidak pernah membayangkan jika Exintent akan membuangnya suatu saat nanti.
"Berterima kasihlah setelah semua bukti dan saksi ditemukan. Juga, setelah semua ini selesai," ucap Arief.
"Siap, Om."
Lalu, setelah beberapa cuap-cuap lagi, panggilan dimatikan oleh Arief. Ia mengalihkan pandangannya setelah menyimpan ponsel pintarnya itu ke dalam saku. Di depannya sudah ada anggota dari kepolisian yang menghadap, meminta kemajuan dari penyelidikan yang tengah berlangsung.
Berada di rumah Guritno, selama lima hari adalah waktu yang cukup cepat. Di saat ia harus mencari bukti untuk membantu para Exintent bahwa Raka tidak bersalah, ia juga harus mencari bukti sebagaimana seharusnya bahwa Raka dinyatakan bersalah oleh pihak berwajib.
![](https://img.wattpad.com/cover/320796702-288-k662492.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Innocent [Terbit]
Mistério / SuspenseJuara 2 Event Writora: Get Your Prompt! 🥈 [Part Tidak Lengkap] Kematian Ketua Partai Perjuangan Demokrat, Guritno Adjamada, menjadi masalah baru menjelang pemilu presiden periode selanjutnya. Raka, yang merupakan penjual roti, dituduh melakukan pem...