Ditempat lain, Wonyoung tampak tak bersemangat. Dia dibangunkan pagi sekali
di dandani dengan cantik. Hanya untuk menjadi hiasan ruangan.Sejak tadi gadis itu hanya duduk manis di ruangan Sunghoon, yang pemiliknya sendiri sibuk dengan urusannya sendiri.
Dia bahkan tak diberi sarapan.
Tinggal disini satu minggu saja bisa dipastikan berat badannya turun dengan drastis.
Dalam diam Wonyoung mengamati sosok Sunghoon. Rambut perak, hidung mancung serta bibir tipis Sunghoon sebuah perpaduan yang sempurna. Jika saja Sunghoon itu manusia dia mungkin sudah laris mendominasi majalah dengan wajah tampan itu.
Ketukan pintu membuyarkan lamunan Wonyoung. Seorang dengan pakaian khasnya memasuki ruangan, diikuti beberapa pelayan dibelakangnya. Minhee. Wonyoung sudah mengenal pria itu. Orang yang menculiknya.
"Maaf mengganggu Tuan ku, saatnya nona untuk sarapan." Ucap Minhee sopan.
Sunghoon menaikkan sebelah alisnya, asing dengan istilah yang digunakan Minhee.
"Makan pagi Tuan ku."
Para pelayan itu lekas menata makanan begitu mendapatkan izin dari Sunghoon.
Wonyoung amati, hampir seluruh penghuni kastil ini memiliki warna rambut yang sama. Pirang atau perak.
Ketimbang mereka, dirinya lebih cocok disebut sebagai vampir sesungguhnya. Rambutnya hitam legam, persis seperti yang digambarkan para novelis diluar sana. Yah, walau hanya rambut.
Salah satu pelayan menuntun Wonyoung menuju meja yang sudah disiapkan. Penuh dengan hidangan ringan yang cocok untuk sarapan. Rasa laparnya makin menjadi-jadi. Bayangkan dia tak makan apapun sejak kejadian di kafe itu.
Es krim sundae adalah daftar makanan terkahir yang dia telan.
Dihadapannya, Sunghoon duduk dengan angkuh, jarinya mengapit gelas wine. Terus memperhatikannya, itu membuat Wonyoung tak nyaman.
Dia mencoba mengabaikan itu, masa bodoh dengan Sunghoon, perutnya perlu diisi. Sejak dibawa kemari, Wonyoung tak makan apapun. Lebih tepatnya dia yang mogok makan. Pikirnya dengan tak makan mereka mau memulangkan dirinya.
Sepiring panekuk tandas. Makanan itu terlihat begitu menggugah selera walau rasanya amat kacau. Wonyoung rasa mereka memasukkan sekarung gula untuk adonan. Manisnya sampai membuat giginya ngilu.
Setidaknya mereka menyediakan susu, sehingga makanan (terlalu) manis itu bisa dia habiskan.
Wonyoung meletakkan gelasnya. Dia sudah selesai, sekarang apakah dia harus menjadi hiasan ruangan Sunghoon lagi?
"Mau jalan-jalan?"
Tak tahu kapan lelaki itu berdiri dari duduknya. Tiba-tiba sudah berdiri disampingnya. Mengulurkan sebelah tangan pada Wonyoung. Oh, apakah dia punya jawaban lain selain ya?
Maka Wonyoung menerima uluran tangan itu. Sunghoon menarik lengannya agar melingkar di lengan pria itu.
Entah kemana pria itu membawanya. Wonyoung ikut saja. Dia juga tak mau tahu, dia tak perlu mengetahui seluk-beluk tempat ini, toh dia akan pulang. Begitu kan?
Dijalan mereka berpapasan dengan rombongan Chaeyun. Gadis itu tampak manis dengan balutan gaun biru langit berhiaskan pita kecil.
Chaeyun memberikan hormat pada Sunghoon yang dibalas dengan anggukan kepala. Wonyoung jadi salah tingkah. Haruskah dia memberi hormat juga?
Wonyoung tahu bahwa Chaeyun adalah takdir yang dituliskan untuk menjadi pendamping pria ini. Dan dia merebut posisi itu, tanpa dia ingin.
Di malam setelah dirinya dibawa kemari, Chaeyun mendatangi kamarnya. Tanpa basa-basi mengatakan bahwa dia merebut posisinya. Wonyoung yang mendengar itu tak terima, namun dia justru memanfaatkan kedatangan Chaeyun malam itu.
Memohon pada gadis itu untuk mengantarnya pulang, dan gadis itu bisa mendapatkan posisinya kembali.
Sayang, respon Chaeyun begitu mengecewakan.
Perasaan marah Chaeyun pada Wonyoung sirna saat gadis itu mengatakan bahwa dia disini bukan karena keinginannya. Wonyoung juga bercerita bahwa dia memiliki seorang kekasih di dunianya. Jadi untuk apa dia repot-repot kemari hanya untuk menikahi pria yang sialnya tampan namun bukan manusia itu.
Malam itu mereka menceritakan banyak hal. Mulai dari dugaan bahwa Sunghoon diberi ramuan cinta.
Awalnya Wonyoung hendak tertawa, namun melihat ekspresi serius Chaeyun membuat dia urung, gadis itu berkata dengan jujur.
Ramuan cinta biasanya tak begitu berpengaruh jika orang yang diberi sudah terikat. Namun melihat Sunghoon yang begitu mudah mengubah keputusan membuat Chaeyun sadar bahwa pria itu tak pernah menginginkan dirinya.
Wajah Wonyoung menjadi murung. Sulit mencari penawar ramuan itu. Apalagi untuk dirinya yang tak pernah diberi izin keluar kastil.
"Ada apa?"
Ia menggeleng kecil.
Mereka sedang duduk di taman kastil, tempat itu sangat indah, berbagai macam bunga ditanam memutari taman. Wonyoung dibuat terpana sesaat, ya hanya sesaat sampai dia kembali teringat dengan yang dia tinggalkan.
Orangtuanya, teman-temannya, Jungwon, pekerjaan yang begitu dia cintai. Dadanya menjadi sesak. Tanpa sadar dia menyandarkan kepalanya pada bahu Sunghoon. Terisak kecil.
Semua itu tak luput dari penglihatan Sunghoon. Dia membawa tangannya membelai rambut Wonyoung. Sesuatu dalam dadanya terasa nyeri mendengar isakan pilu dari calon pendampingnya.
"Aku mau pulang.." lirih Wonyoung, hampir tak terdengar. Bagusnya bangsa vampir punya pendengaran yang tajam.
Sunghoon mengepalkan tangannya. Dia tak tega melihat calon pendampingnya menangis seperti ini, namun dia juga enggan memulangkan gadis itu.
'Nanti, aku akan membawamu pulang..'
Ia lekas mengecup pucuk kepala Wonyoung. Yang malah membuat tangis gadis itu makin kencang.
'... Setelah ritual.'
Kalian tim wonwon atau jangkku?
KAMU SEDANG MEMBACA
BRIDE
أدب الهواةMinhee menginginkan pujaan hatinya. Sunghoon butuh pendamping. Jungwon kehilangan separuh hidupnya.