14

11.8K 866 22
                                    

Sebaik apapun manusia pasti dia akan mengkhianatimu suatu hari nanti. Perjalanan hidup Aditya harus berakhir untuk saat ini dia mengatakan tidak ada gunanya bertahan lagi.

Aditya senang berada ditengah-tengah keluargaku bercanda, tertawa dan menghabiskan banyak waktu dalam dekapan hangat keluarga. Entah jiwaku yang akan pergi atau jiwa Aditya.

Kanker otak stadium empat ini semakin ganas tidak ada cara lain untuk diobati semua tindakan hanya memperlambat saja. Masalah sering datang tiada henti untuk Aditya dia memutuskan untuk menyerah. Bukan berarti dia tidak bersyukur akan semua ini namun sudah waktunya dia pergi.

"Kau yakin akan menyerah Dit?" tanyaku.

Aku di atap kamarku melihat taburan bintang dan Aditya hanya diam saja mendengar pertanyaan dariku. Aditya lelah bukan hanya fisik namun kejiwaan juga.

"Kukira mereka akan sadar dengan kepergianku dari rumah nyatanya tidak sama sekali. Hatiku sangat sakit melihat mereka lebih menyayangi orang asing dibandingkan aku," ucap Aditya.

"Aku tidak bisa memaksamu bertahan Dit. Saat aku menghentikan pengobatan maka raga ini akan mati," ucapku.

"Hentikan saja pengobatannya. Kau akan kembali ke raga aslimu bang," ucap Aditya.

"Mereka hanya tahu kau lahir dari kalangan atas tanpa tahu penderitaan dirimu selama ini," ucapku.

"Aku lebih baik terlahir dari keluarga sederhana tapi kaya kasih sayang, dibandingkan keluarga kaya raya namun minim kasih sayang," ucap Aditya.

"Aku lebih suka percaya pada diriku sendiri. Menyerah membuatmu bahagia aku tidak bisa menahan keinginanmu itu Dit," ucapku.

"Mereka pasti akan berpesta saat kematianku," lirih Aditya.

"Warisan kakekmu itu biarkan saja dimakan oleh orang-orang haus harta. Mereka akan mendapatkan karma di masa depan," ucapku.

"Rencana abang ke depan bagaimana?" tanya Aditya.

"Ayah menginginkan aku dan Rasen melanjutkan pendidikan di luar negeri. Disini membosankan ditambah banyak penjilat berpura-pura menjadi temanku," ucapku.

"Penjilat di dunia ini memang hal biasa bang. Kita sudah percaya dengan dia ternyata nusuk dari belakang," ucap Aditya.

"Kupikir ucapan kakek benar," ucapku.

"Tentang apa bang?" bingung Aditya.

"Fokuslah mencari uang maka semua teman akan mendekat. Aku mengerti pepatah itu belakangan ini," ucapku.

"Uang bisa membeli teman sepertinya benar," ucap Aditya.

"Dibully, dihina dan mendapatkan hal-hal tidak menyenangkan masa SMP membuat aku sadar. Aku benci masa putih biru tidak ada kenangan indah disana. Mereka haus akan popularitas bahkan setiap guru terlihat begitu lebih mementingkan anak-anak berprestasi saja," ucapku.

"SMP-mu buruk sekali bang," ucap Aditya.

"Aku selalu menghindari apabila mereka ingin mengajak reuni setiap tahunnya. SMA tidak terlalu buruk yah walaupun aku harus pindah bulan lalu," ucapku.

"Sejak kecil aku merasa sering disisihkan dari keluarga bahkan sering tidak diajak liburan keluarga. Kelamaan semakin terlihat jelas jarak antara aku dan semua anggota keluargaku," ucap Aditya.

"Mereka tidak mengetahui penyakitmu?" tanyaku.

"Tidak ada yang tahu. Menanyakan kabarku saja kupikir itu hal yang besar. Aku terbiasa melakukan apapun sendirian bang. Rizky kupikir dia berbeda ternyata sama saja," ucap Aditya.

"Kita buat video perpisahan untukmu bagaimana?" tawarku.

"Aku menempati ragamu bang," ucap Aditya.

"Kau tulis keluh kesahmu di secarik kertas biar aku yang membacakannya di depan kamera," ucapku.

"Aku ikut dalam video juga bang," ucap Aditya.

"Tidak masalah," ucapku.

"Cara kita turun dari atap bagaimana nih bang?" tanya Aditya.

"Sini gua bantu!" pekikku.

Aku membantu Aditya turun dari atap kamarku. Di kamarku sudah ada Rasen tertidur pulas dan laptopku menyala anime berjudul assassin classroom.

"Adikmu lucu bang," ucap Aditya.

"Dia juga adikmu," ucapku.

"Iya juga sih," ucap Aditya.

"Lu nulis aja gua mau tidur rasa pusingnya datang lagi," ucapku.

Aditya menggangguk dan mulai menulis di meja belajarku. Aku memeluk tubuh Rasen membiarkan laptop tetap menyala.

Aditya mengigit bibir bawahnya saat menulis setiap keluh kesahnya diatas kertas. Dia tidak ingin mengatakan apapun pada kedua orangtuanya biarkan dia pergi dengan tenang.

Aditya menaruh pulpen mulai mendekatiku dan memelukku sangat erat. Aku terbangun merasakan bahuku basah hanya terdengar isakan dari mulut Aditya.

"Tidak sanggup mengungkapnya?" tanyaku.

"Abang aja yang tulis," lirih Aditya.

"Kita saling terhubung saja menggunakan semacam walkie talkie. Aku punya dua di lemari bajuku sebelahnya lu yang berbicara dan gua tinggal menyampaikan itu semua," ucapku.

"Nah lebih baik begitu," ucap Aditya.

Aku bangun mencari benda yang kumaksud di lemari bajuku. Tidak ada hanya ada tumpukan baju dan celana saja. Aku membuka laci di meja belajarku sama saja tidak ada.

"Sebentar kutanya bunda dulu," ucapku.

Aku berlari keluar kamar menanyakan alat yang kumaksud itu. Aku memeluk tubuh Rianti menanyakan benda yang kucari ternyata ada di lemari bajuku tapi kok tidak ketemu.

"Abang udah car tetap tidak ada bun," ucapku.

"Awas kalau ada bunda getok pake spatula!" kesal Rianti.

"Sumpah aku cari tidak ada di lemari," ucapku.

Rianti masuk ke kamarku mencari walkie talkie anehnya ketemu dan Rianti mengetok kepalaku menggunakan spatula yang dipegangnya. Rianti menatapku galak membuat aku cengengesan.

"Ini apa sih bang?!" kesal Rianti.

"Kok bisa ada disana sih?" heranku.

"Nyari pake mata bukan mulut," ucap Rianti.

Rianti menyerahkan walkie talkie padaku dan langsung keluar dari kamarku begitu saja. Aku menyerahkan satu walkie talkie pada Aditya. Kami berdua menggeser barang-barang menjauh dari meja belajar agar saat rekaman terlihat keren.

"Hm abang dan kakak melakukan apa sih?" tanya Rasen terbangun dari tidur.

"Hanya sebuah rekaman kecil," ucapku.

"Oh," ucap Rasen.

"Anak-anak ayo makan malam dulu!" pekik Rianti.

"Yeah makan!" pekik Rasen.

Rasen berlari keluar kamarku ingin segera makan malam. Aku dan Aditya menyusul langkah kaki Rasen menuju ke ruang makan. Tiba di tangga aku memegang kepalaku rasa pusing kembali datang.

"Bang!" panggil Aditya.

"Ayo makan malam dulu," ucapku.

Kami semua makan malam bersama-sama menghabiskan waktu yang asyik saling bercanda satu sama lain. Selesai makan malam aku dan Aditya merekam di kamarku tentang semua hal yang perlu diungkapkan Aditya sebelum tiada.

Selesai rekaman kepalaku pusing sekali pandanganku semakin memburam sebelum pingsan kulihat Aditya juga pingsan entah apa penyebabnya.

Maaf sedikit pendek chapter kali ini tiba-tiba ideku hilang begitu saja dan diusahakan akan lebih panjang minggu depan

Sampai jumpa

Jangan lupa tinggalkan vote, komentar dan kritikan bagi penulis agar semakin bersemangat menulis

Rabu 19 Oktober 2022

Transmigrasi Ello (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang