CHERISH 10 : PROBOLINGGO

223 42 11
                                        

— CHERISH 10 : PROBOLINGGO.

"Mas Jabar!"

Seorang pemuda bertubuh jangkung nan tegap melambaikan tangan. Mereka telah sampai selamat di tujuan. Dan yang melambai tadi adalah Jaya, adik kandung Windi yang bertugas menjemput Jabar dan Kahiyang.

"Sendiri, Jay?"

"Iya, Mas. Halo Mbak Iyang." jawabnya dengan cengiran sembari menyapa Kahiyang lantas menyalaminya.

"Kesini naik apa Dek?" Iyang melontarkan tanya.

"Naik mobil, Mbak."

Keadaan stasiun ramai akan orang berlalu-lalang. Bermulai dari Malang hingga menapaki tanah Probolinggo, hujan senantiasa menemani perjalanan mereka. Runtuhan tetesan air seakan mendukung keadaan agar nampak hingar-bingar. Kahiyang kian menaikkan kerah sweater.

Sedikit Kahiyang ketahui mengenai asal-usul Probolinggo. Pada zaman pemerintahan Majapahit di bawah pimpinan Hayam Wuruk, dulunya Probolinggo bernama Banger. Banger adalah sungai yang mengalir di wilayah tengah daerah Banger. Namun pada tahun 1770, Tumenggung Djojonegoro mengubah nama Banger menjadi Probolinggo.

Probo artinya sinar, sedangkan linggo berarti tugu atau tongkat. Probolinggo memiliki arti sinar yang berbentuk tugu atau tongkat. Nama tersebut diyakini merujuk pada penggambaran meteor atau bintang jatuh. (Sumber: detikjatim)

Hari ini adalah pijakan pertama Kahiyang di tanah bekas jajahan Mapahit ini. Karena sebelumnya mana pernah ia kemari. Sebenarnya bisa saja, kalau-kalau ia mengetahui tempat wisata Probolinggo yang dapat menggerakkan rasa kemasalannya.

Gadis itu terlalu sibuk menyelami keramaian stasiun Probolinggo, sampai-sampai tak menyadari bahwa payung telah tersibak. Kahiyang lumayan tersipu kala Jabar melingkarkan lengan pada bahunya. Pria itu membuka gagang mobil bagian belakang, mempersilahkan Kahiyang masuk. Lantas dirinya menduduki kursi depan sebelah supir.

"Hujannya awet. Dari Malang sampai Probolinggo gak berhenti." kata Jabar.

"Kan udah penghujung tahun, Mas. Musim penghujan." jawaban itu keluar dari Jaya.

Sembari menyugar rambut, Jabar menatap pada balik punggung, "kamu masih pusing?" tanyanya kepada Kahiyang.

"Udah nggak."

Mobil mulai melaju. Jabar melirik kepada Jaya yang terlihat serius menyetir.

"Kamu sejak kapan belajar mobil?" yang ditanya menoleh sekilas lantas kembali berfokus ke arah jalanan. Rintikan hujan dan embun cukup mengganggu penglihatan. Namun mereka tak menghalangi senyum lebar Jaya.

"SMA kelas dua."

"Diajari siapa?"

"Sama bapak." jawaban Jaya sontak memancing kekehan renyah Jabar timbul. Bagi sebagian orang, berguru kepada ayah mereka dalam hal pelajaran menyetir sama dengan di bayar uji percobaan mental pula. Pengalaman ini pun berlaku untuk Jabar. Sukur-sukur jiwanya tidak cacat.

Jaya menatap Jabar aneh, "kenapa to?"

"Nggak-nggak." Tolak Jabar gengsi. "Udah bikin SIM?"

"SIM apa dulu?" ujar Jaya sembari mobil berbelok ke arah kanan. Menuju jalanan yang lebih sempit.

"SIM A lah. Mana ada SIM C untuk mobil." jawaban jenaka Jabar menyebabkan tawa ringan Jaya muncul.

"Udah semua kok, Mas."

Mendadak lirikan mata Jabar memicing. "Nembak ya?"

"Nggak lah! ngawur aja, aku tes. Bersih dan halal."

CHERISHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang