CHERISH 07 : ALBUM FOTO

532 106 18
                                        

— CHERISH 07 : ALBUM FOTO.

Mendengar nama Raina terlontar dari mulut Kahiyang, pria itu tak nampak menunjukkan raut peduli.

"Oh, biarin aja." Jabar lanjut menghabiskan sisa makanan.

"Emang gak penting? Sampai lima kali di telfon loh." Sang suami yang tengah melanjutkan memakan sesuap nasi kembali itu menggeleng.

"Emang siapa mas, temen guru?"

"Temen SMA."

Jawaban Jabar kali ini sedikit membuat Kahiyang waspada. Kahiyang tahu benar tampang pemuda-pemuda yang di gemari para gadis semasa remaja. Sebab ia pernah melaluinya. Lebih-lebih lagi laki-laki modelan Jabar. Ia tebak pasti suaminya di gandrungi perempuan-perempuan pada masanya.

"Mas populer ya di SMA?"

Kepala Jabar mendongak, alisnya terangkat satu. "Nggak tuh."

"Masak si?"

"Kapan-kapan aku cerita masa SMA ku."

"Jangan di boongin akunya."

Kedua alis Jabar berkerut, "untungnya bohong apa? Dosa iya, Ay."

Memang benar Jabar tak terlalu di kenal oleh masyarakat sekolah. Entah itu pada tahun sekolah bercelana biru ataupun abu-abu. Toh walau mempunyai tampang di atas rata-rata, dirinya terlampau malas guna menonjolkan diri.

Suami Kahiyang juga bukan siswa yang sibuk mengikuti organisasi. Ia hanya mengikuti club bulutangkis semasa SMA, itupun di jadikan selingan olahraga bagi Jabar remaja. Makadari itu wajah Jabar kurang di kenal di dalam kalangan sekolah.

Prinsip Jabar remaja ialah memiliki beberapa teman saja sudah cukup, selagi orang itu betul-betul menjadi makna dari teman yang sesungguhnya. Bukan teman gadungan dalam artian tanda kutip. Hal ini terbukti dari beberapa teman semasa putih abu Jabar yang bisa di hitung jari.

"Jangan terlalu di pikir." Kahiyang menatap Jabar tidak mengerti.

"Nanti aku cerita lebih banyak soal Raina. Setelah kamu ketemu sama Bulek Widi."

Kahiyang mengambil piring bekas sang suami, lalu ia memberi Jabar gelas yang sudah terisi air. "Bulek Widi? Yang mana lagi?"

"Adiknya bapak."

"Kemarin datang waktu nikahan?"

Jabar menggeleng. "Ada acara juga keluar kota." Katanya, kemudian menenggak air hingga tandas. "Nanti yang sabar bicara sama Bulek Widi."

Kahiyang yang tengah mencuci peralatan makan menatap Jabar tak paham, "emang kenapa?"

Ucapan hamdalah Jabar terdengar sehabis melepas sendawa. Mulutnya mencecap, "nggak ada buah?"

"Di kulkas ada pisang."

Merasa pertanyaanya tidak di gubris, Kahiyang kembali bertanya. "Emang kenapa harus sabar kalau bicara sama Bulek Widi, mas?"

"Nanti tahu sendiri." Jabar membuka kulkas lalu berjongkok mencari keberadaan si buah kuning. Sementara Kahiyang diam-diam mengeluarkan napas jengkel. Kesal juga tidak di beritahu sampai tuntas, keingintahuannya menggantung.

Selesai urusan mencuci, Iyang mengelap tangan basahnya. Jabar masih menduduki kursi makan, melanjutkan acara makannya pula.

"Aku mau keluar ya."

"Kemana?"

"Ngantar sprei kotor." Maksud Iyang laundry. Sudah menjadi kebiasaan Kahiyang menlaundry sprei kasur atau pakaian tebal. Jika baju-baju yang biasa ia dan Jabar gunakan masih bisa di cuci seorang diri. Untuk apa mereka membeli mesin cuci kalau tidak di olah manfaat fungsinya.

CHERISHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang