CHERISH 09 : CARING HUSBAND

555 91 10
                                    

CHERISH 09 : CARING HUSBAND.

Untuk di beberapa kondisi, tak jarang Kahiyang selalu merasa sepi. Lebih-lebih lagi kala Jabar pergi menunaikan kewajiban sebagai guru, yaitu mengajar. Sementara Kahiyang sendiri telah dari tiga hari lalu mulai membuka sesi les kecil-kecilan yang ia rencanakan. Dilain hal itu, profesinya hanyalah ibu rumah tangga. Belajar menjadi istri yang baik, memasak, menata rumah, dan rentetan tugas-tugas lainnya.

Di ukur sejauh ini, tidak ada masalah berarti dalam finansial rumah tangganya dengan Jabar. Kebutuhan makan yang selalu tercukupi untuk sehari-hari. Lagipun, porsi makan tiap hari ia belanjakan hanya untuk dirinya dan sang suami. Di lain hal ini Kahiyang selalu mengusahakan Jabar agar senantiasa menabung. Kahiyang bukan tipe perempuan konsumtif.

Barangkali finansial bukan menjadi halangan bagi mereka. Namun perkara hubungan dan komunikasi patut di pertanyakan. Kahiyang tak hanya merasa sendiri kala Jabar pergi mencari nafkah. Bahkan hadirnya sosok suaminya di rumah selepas bekerja, masih tetap membuat Kahiyang merasakan kesendirian.

Gadis itu merasa komunikasi yang mereka jalin selama berhari-hari kemarin tidak lah cukup. Pagi hari Jabar bekerja dan pulang selepas adzan ashar berkumandang. Lantas yang suami Kahiyang lakukan selepas sampai di rumah membunuh waktu dengan bermain permainan maya bersama teman yang entahlah, bahkan Kahiyang saja tidak tahu. Mana ada suaminya itu pulang mengajaknya mengobrol santai, bercerita hal-hal kecil. Membahas apa yang mereka lakukan seharian penuh.

Selepas tugas-tugas rumah rampung Kahiyang lakukan, ia memilih berkunjung ke salah satu tetangga depan rumah yang baru saja memiliki seorang bayi, daripada menyepi seorang diri.

Namanya teteh Ening. Orang Sunda asli. Tinggal di Malang alamat ikut suami. Sama seperti Kahiyang. Bagi Kahiyang bukanlah persoalan berat beraptasi dengan lingkungan sekitar, bahkan bersama orang di dalamnya sekalipun. Lebih-lebih lagi Kahiyang mantan pengajar di salah satu sekolah dasar. Yang dimana harus menjalin baik hubungan dengan wali murid dari siswa-siswa yang ia didik.

"Adek kapan aqiqahnya Teh?" tanya Iyang. Daripada di sauti mbak, Ening lebih nyaman orang-orang memanggilnya teteh. Namun barangkali gadis keturunan Sunda itu di sapa mbak pun, ia tak keberatan sama sekali.

"Kalau sudah umur 21 hari de." jawabnya sembari melipat baju-baju bayi. Ening memperhatikan Kahiyang dalam diam. Gadis yang lebih muda lima tahun darinya itu asik sekali bercanda bersama bayi kecilnya.

"De Kay."

Kahiyang segera menoleh, "kenapa Teh?"

"Udah ada rencana punya momongan kapan?" ayunan badan dan senyum keceriaan Kahiyang perlahan memudar. Ening sedikit merasa bersalah akan hal itu.

"Aku belum bicara soal anak sama mas Jabar, Teh."

Ening beralih mengistirahatkan punggung. "Kalau soal ngerasa sepi terus di rumah sendiri. Tiap Jabar pulang, dia jarang ajak kamu berkomunikasi. Itu udah pernah di bahas?"

Naas, Kahiyang menggeleng sedih. Beberapa hari terakhir ini gadis itu memang menjadikan Ening sebagai tempat berkeluh kesah. Dan setelah dia mencurahkan isi hatinya beberapa hari lalu, ternyata Ening juga pernah mengalami hal serupa. Kala dia masih belum memiliki anak pertama, yang kini telah menginjak bangku sekolah dasar. Iya, Ening ini adalah salah satu orang tua anak didik bimbingannya.

"Aku gak mau me timenya mas keganggu Teh. Apalagi kerja dari pagi. Pasti capek."

"Tapi De, kalau kamu selalu bungkam soal hatimu. Kapan Jabar bisa tahu? aku denger dari cerita-cerita mu, dia itu sepertinya cowok nggak peka."

Kahiyang tertawa pelan. Ada bagian hatinya yang teriris. Padahal di awal-awal pernikahan, Jabar pernah meminta maaf karena meninggalkan Kahiyang menyendiri sebab ia pergi bekerja, tapi apalah kata maaf itu. Usahanya untuk menjadi semakin dekat dengan Iyang masih belum terlihat hingga kini.

CHERISHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang