CHERISH 03 : ARTI RUMAH

637 117 15
                                    

─ CHERISH 03 : ARTI RUMAH.

Kabut fajar terlihat tebal. Hawa sejuk embun pagi menciptakan dingin menelusup tubuh, di tambah lagi musim penghujan pertengahan bulan ini sedang deras-derasnya. Kahiyang kian merapatkan jaket kedodoran milik Jabar. Sebelumnya Iyang akan memakai cardigan hijau miliknya kemarin. Tapi suami dia membantah, katanya terlalu tipis. Kahiyang tersenyum ringan kalau mengingat-ingat kembali.

Paginya tak lagi sama seperti hari-hari kemarin. Jika dulu hal pertama kali yang ia lakukan selepas membuka mata adalah bergegas menuju kamar mandi, namun kini kegiatan utama yang harus ia lakukan terlepas bangun dari tidur ialah menyiapkan peralatan beribadah sang suami. Mengisi bak air mandi sebelum Jabar datang membasuh diri.

Barang-barang telah tertata rapi di belakang garasi. Baju pengantin yang Iyang dan Jabar gunakan kemarin sudah di kembalikan dengan selamat. Iyang tak membawa banyak barang, ia mengepak benda yang benar-benar ia butuhkan saja disaat malam sebelum keberangkatan menuju rumah Jabar. Jelas sekarang bawaan Kahiyang sebatas satu tas gendong namun lumayan berbobot dan satu lagi tas kecil penyimpan ponsel serta dompet.

Pun nampaknya Jabar turut demikian. Cukup memuat satu tas gendong dan tas tentengan cilik. Jabar bilang kebanyakan peralatan yang ia punya masih menetap di tempat kos.

"Gak ada yang ketinggalan 'kan, Bar?"

Jabar baru menutup pintu belakang garasi. Berbalik menatap kehadiran sang ibu. Laki-laki itu menepuk tangan beberapa kali.

"Insyaallah gak ada buk."

Alis Jabar mengkerut bingung. Seingat ia tadi istrinya masih berada di samping kanan. Sekarang kenapa malah menghilang. Jabar mencari-cari keberadaan sang istri ciliknya.

"Iyang kemana buk?"

"Di dalem. Lagi bungkusin bekel mu sama pak lek buat di perjalanan."

Pemuda itu mengangguk-angguk paham. Baru seperti kemarin sore, dirinya di siapkan pesangon makanan oleh sang ibu. Atau paling tidak, di perjalanan berhenti sejenak mencari warung makan. Mengisi perut sekaligus mengistirahatkan raga. Namun bilamana saat ini rasanya menjanggal sekali, ada perasaan senang dan menggetarkan Jabar.

Perasaan yang jarang Jabar rasakan. Atau mungkin sudah hampir punah.

Kalau dulu, semasa ia masih menjadi seorang mahasiswa, setiap liburan semester pasti menyempatkan pulang. Naiknya bukan mobil, tapi sepeda motor. Bisa salip sana-sini. Tapi pegal dan penat setelah sampai luar biasa mengeluh.

Mengingat itu Jabar jadi memikirkan untuk mengajak Kahiyang sekali-kali perjalanan jauh menaiki sepeda motor. Tapi gadis itu bakal mau tidak ya hanya di bonceng sepeda matic biru yang ia tinggal di kos-kosan.

"Mas."

Suami Kahiyang itu sedang fokus-fokusnya memanaskan mesin mobil. Tapi Jabar tetap merespon, "ya?"

Kahiyang menyodorkan segelas air berwarna putih, tidak salah dan tidak bukan yaitu susu.

"Susunya." Jabar menerima dengan senang hati. Tanpa tiupan lebih dulu, berucap basmalah. Susu buatan Kahiyang tandas dalam empat kali teguk. Tenggorokan suaminya ini baja sekali ya. Padahal Iyang masih merasakan panas saat menyentuh gelas.

"Makasih ya." Jabar mengulurkan gelas kosong yang segera Iyang ambil. Jabar tahu akan ada secuil susu tertinggal di sudut bibirnya. Karena itu ia hendak membersihkan menggunakan ujung lengan jaket jeans yang sedang di pakai.

"E─ eh, anu. Jangan gitu... nanti kotor." Kejadiannya terjadi seperkian detik hingga Jabar tak bisa berkutik.

Jemari lentik Kahiyang membersihkan ujung bibir Jabar piawai. "Dah." Selesai melakukan apa yang ia inginkan, Kahiyang mundur kemudian memberikan senyum manis. Mendadak Kahiyang sadar, melihat Jabar bak orang terhipnotis menatap dirinya, membuat senyum Kahiyang perlahan luntur. Detik demi detik semburat merona tampak di kedua pipinya.

CHERISHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang