CHERISH 11 : PERTEMUAN KELUARGA

199 38 5
                                    

— CHERISH 11 : PERTEMUAN KELUARGA.

Pagi hari merupakan suasana yang paling Kahiyang suka. Samar-samar embun masih betah bertunggang pada pohon-pohon. Semilir angin memberi kesejukan —yang Kahiyang anggap konsumsi untuk pikiran sehat— di temani nyanyian alam bervokalis cengkerik dan katak.

Pagi setelah bangun Kahiyang kali ini sedikit berbeda. Subuhnya di suguhi sinar hangat mentari dari sudut pemandangan baru, yaitu jendela lapuk kamar Jaya. Apa yang Jabar katakan bukan sekedar bualan kosong. Hamparan sawah hijau maupun kuning tertanami jagung, memanjakan pandangan Kahiyang. Garis bekas munculnya sang mentari terlihat mengabur, menyisakan kuning keemasan bersatu padu bersama kawanan awan pagi.

Sayangnya Kahiyang tidak dapat berbetah-betah mendekam, acara pernikahan Windi akan segera di langsungkan. Usai menyumbangkan bantuan dengan membawa beberapa nampan berisi jajanan khas pasar, gadis itu tanpa babibu lekas diberitahu agar ke dalam kamar rias. Tapi sebelum itu, ia beranjak ke arah dapur tuk sekedar membantu apa yang Kahiyang dapat lakukan.

"Kamu istrinya Jabar to?"

Kahiyang tidak mengetahui, sejak kapan ia bersebelahan bersama seorang wanita berkerudung merah bata. Menilik dari kerutan wajah, umurnya barangkali telah melewati angka lima puluh.

"Inggih, Bu. Saya istri mas Jabar." jawabnya sopan.

"Sudah sejak kapan disini?"

"Baru semalam sampai." Kahiyang menata souvenir cepat-cepat. Kahiyang tidak mengenali salah satu keluarga Jabar satu ini. Entah kenapa keberadaannya terasa sedikit mengancam.

"Kok saya ndak kelihatan kamu kumpul dengan keluarga besar semalam?"

"Sebelumnya maaf bulek, semalam saya lagi nggak enak badan. Keterusan istirahat." jawabnya beralibi. Padahal setelah sampai, badan Kahiyang baik-baik saja. Demi menjaga nama baik Jabar, ada baiknya dia saja yang menanggung akibat keabsenan mereka.

Rautnya terlihat sedikit meremehkan. Setidaknya itu lah yang Kahiyang tangkap. Tanpa ingin kalah, bulek Jabar itu menjawab, "mampir sebentar lima menit aja to, apa terlalu berat? saya sih harapnya supaya semua keluarga Jabar kenal istrinya. Mau atau ndak mau kamu ini?"

"Maaf bulek." Kahiyang tidak memiliki minat memperpanjang obrolan mereka. Lebih baik mengalah daripada menyulut amarah lawan.

Tanpa pertemuan semalam, sebagian keluarga Jabar sudah mengenali Kahiyang. Hanya bulek Jabar satu ini yang tidak ia lihat presensinya, baik di acara pra-nikah maupun pada saat hari pernikahan mereka. Dua-duanya terdiam. Kahiyang fokus meneliti souvenir pernikahan, bulek Jabar di sebelahnya pun sibuk menata piring sambilan melirik Kahiyang sesekali.

"Kamu ini kenal saya ndak to?"

"Assalamualaikum, Bulek Widi."

Kahiyang dan bulek Widi, yang baru Kahiyang ketahui namanya, menjawab salam bersamaan. Kahiyang menahan greget dalam hati. Beruntung Jabar datang di saat yang tepat, atau nasibnya akan menjadi buntung.

"Bulek di panggil buat siap-siap dirias."

"Loh, ibuk mu wes mari di dandani to Bar?"

"Sampun, Bulek." ucapnya sambil memasuki ruangan penuh akan souvenir. "Kerjaan Bulek aku aja yang ngambil."

"Halah! tinggal bilang aja pengen pacaran kamu, dasar penganten enom."

Jabar menanggapi dengan tawaan. Lain hal Kahiyang senantiasa terdiam, menatap kepergian bulek Widi yang katanya telah di panggil untuk merias wajah. Sejauh Kahiyang mengenal keluarga besar Jabar, tidak ada satupun yang berani menyudutkan dirinya selantang bulek Widi. Pantas ia tidak mengenali bulek Widi, sebab Jabar bilang buleknya tidak datang di acara pernikahan mereka.

"Kamu habis di tanya apa sama bulek? mukanya langsung gak enak gitu."

"Emang kelihatan banget ya?" spontan Jabar tergelak.

"Banget. Udah di tanya apa aja?"

"Cuma di tanya kenapa semalam kita gak ikut kumpul keluarga, sama di tanya nama bulek Widi. Aku langsung lega kamu dateng. Aku gak tahu nama bulek siapa tadi."

Tidak ada keanehan dari pertanyaan yang bulek Jabar itu sampaikan, namun penekanan rautnya memberi kesan menyudutkan bagi Kahiyang. Gadis itu mencoba memaklumi. Salah satu atau dua atau bahkan bisa lebih dari anggota keluarga memang akan menjadi bakal biji mengesalkan hati. Baik keluarga Jabar maupun dirinya. Ia tidak bisa menolak itu, namun Kahiyang bisa menghindari mereka.

"Bulek Widi memang begitu. Terlalu perasa dan sensitif. Kalo apa yang dia bilang bisa bikin kamu sakit hati, gak perlu di ambil pusing. Semua keluargaku tahu kalo bulek memang begitu."

C H E R I S H 

Kahiyang selalu menyukai bagaimana pernikahan dikemas dalam budaya Jawa, mulai dari seserahan, siraman, hingga susunan acara menuju sungkeman. Kahiyang ingat sekali, pasca meminta restu dan doa kepada bunda, ia tidak dapat menahan lelehan air mata. Sekelibat teringat akan dosa-dosa Kahiyang terhadap bunda, ataupun fakta dimana ia akan meninggalkan sang bunda.

Pernikahan Windi ramai akan keluarga mempelai lelaki dan keluarga besarnya sendiri. Banyak wajah-wajah Kahiyang kenali. Kadang-kadang Kahiyang menyapa, namun lebih banyak saudara-saudara jauh Jabar menegur lebih dulu. Hampir keseluruhan dari mereka senang beramah-tamah, entah mengapa menjadi pertanyaan kalau sudah bulek Widi ceritanya. 

"Hai Jay!"

"Loh, Kak Rai?"

Rai? Raina? 

"Gimana kabar kamu? masih suka daki gunung?" 

Jay tersenyum pringas-pringis, bulu tengkuknya mendadak gatal harus di usap, "masih, Kak."

Mereka berdua, Jay dan Raina, sudah terlihat terlewat akrab. Raina, yang kata Jabar adalah teman semasa SMA, repot-repot datang di acara pernikahan sang kakak dan sangat amat luwes bercengkrama dengan Jaya, apa boleh mengatakan hubungan teman remaja lelaki dan perempuan mereka cukup sebatas kata teman dulunya? 

Barangkali Raina tidak mengenali Kahiyang sebagai istri Jabar. Terbukti gadis itu hanya sekelebas melintas sekadar memberi senyum beramah tamah. Kahiyang memperhatikan buku tamu bagian atas lamat-lamat, Raina Khalista.

"Temen SMA mas mu, Jay?" 

"Eh, kenapa Mbak?" Jay mengalihkan fokus sejenak dari ponsel.

"Itu, Raina, temen SMA mas mu atau siapa?" 

Lantas alis Jaya mengerut, "hah, Mas Jabar bilang gitu?" Kahiyang mengangguk. Kalau tadi tengkuk Jaya terasa ada yang merayap, kini giliran alis kiri Jay terasa agak gatal.

"Iya kali... temen Mas Jabar, Mbak." jawabnya dengan nada sumbang. 

"Jujur aja sama Mbak." 

"Aku masih bocah waktu mas Jabar dekat sama kak Raina. Kali aja mereka dulu ha-te-es  kayak anak-anak jaman sekarang, aku juga ndak tahu Mbak."

Tatapan Kahiyang jatuh pada kain kuning penutup meja barang sejenak. Dia tidak pernah memaksa Jabar untuk selalu terbuka mengenai masa yang sudah-sudah. Kahiyang juga tidak pernah terpikir barangkali Jabar masih terikat dengan mantan-mantan yang suaminya punya. Jabar tidak terlihat seperti itu.

"Tanya langsung aja Mbak. Sama mas."

Tidak ingin membuat Jaya curiga, gadis itu memberi senyum jenaka, "udah pernah kok. Kalo sekarang hts kamu siapa dek?"

"Hts hanya untuk orang-orang lemah Mbak! pacaran langsung dong." 

Perhatian Kahiyang teralih pada Raina yang berbincang diselai tawa bulek Widi. Perlahan-lahan senyumnya memudar. Mungkin ada baiknya seperti ini. Mungkin Kahiyang akan bertanya kala ia mengingat. Mungkin semuanya akan berjalan baik-baik saja sesuai porsinya. Porsi dimana ia tidak mengetahui apa yang seharusnya ia berhak tahu. 

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 23 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CHERISHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang