BAB 04

14.9K 2.1K 55
                                    

Teressa tidak pernah mengikuti kelas modelling, tapi selalu didapuk untuk menjadi model katalog setidaknya setiap empat bulan sekali. Fotografer mereka bilang, Teressa punya penampilan fotogenik yang unik. Kamera menyukainya walau sekikuk apa pun Teressa berpose. Potret yang dihasilkan akan selalu terlihat bagus. Karena seringnya melakukan sesi pemotretan, Teressa menjadi lebih akrab dengan para staff di lokasi, termasuk para modelnya. Dia CEO yang sangat disukai karena kepribadiannya yang supel dan ramah.

"Bu Tessa bebas kegiatan sore ini." Nana memberitahunya saat Teressa berada di ruang make up untuk membersihkan riasan. "Meeting besok siang saya geser ke lusa karena Bu Tessa diharuskan hadir di acara ulang tahun pernikahan Pak Herman."

"Batalkan," ujar Teressa selagi menghapus riasan mata dengan miscellar water.

"Maaf, Bu. Asisten Bapak berpesan supaya saya harus memastikan Bu Tessa hadir."

"Why should I?" Teressa memandangnya dengan ekspresi datar. "Lain kali, kalau ada urusan keluarga lagi, kamu langsung konfirmasi ke saya. Jangan asal ganti jadwal yang enggak perlu."

Nana berdiri gelisah sambil memeluk Ipad. "Tapi, ini perintah papanya Bu Tessa. Saya enggak berani bantah."

Teressa menghela napas berat. Dirinya tahu kalau posisi Nana pasti sulit. Di satu sisi, dia adalah asisten yang bekerja untuk Teressa, di sisi lain, dia sering menjadi jalur tercepat keluarga Teressa untuk menghubunginya, mengingat Teressa sudah memblokir semua nomor rumah dan Papa.

"Sebenarnya yang ngegaji kamu itu saya atau Papa?"

Nana menunduk. Rautnya membuat Teressa berpikir kalau dia baru saja membuat asistennya hampir menangis. Lagi-lagi dia menghela napas. "Ya sudah, kamu yang cari kado buat mereka," ucap Teressa akhirnya.

Nana buru-buru mencatat di Ipad. "Perhiasan? Jam tangan? Voucher bulan madu?" Asistennya itu langsung memberi pilihan kado anniversary untuk orang tua Teressa.

"Terserah kamu. Jangan pake kartu kantor. Nanti saya pinjemin milik pribadi. Kamu yang atur hadiahnya dan besok datang bareng saya."

"Masalah itu, Bu..." Nana terlihat ragu. "Besok hari perkiraan lahir anak kakak saya. Saya diminta standby di rumah sakit sepulang kerja."

"Oh, jadi besok, ya?" Teressa langsung tersenyum saat Nana mengangguk.

"Pake kartu saya buat beli hadiah untuk keponakan dan kakak kamu sekalian."

"Enggak usah repot, Bu!"

"Udah, saya maksa. Budgetnya kamu sendiri yang atur." Usai membebaskan wajahnya dari riasan tebal, Teressa membereskan barang-barangnya dari meja rias. "Kamu balik ke kantor?"

Nana mengangguk. "Masih ada kerjaan yang enggak bisa ditinggal."

"Saya naik taksi aja. Kamu bareng Pak Yono sekalian belanja sama ngembaliin barang-barang saya ke kantor." Teressa mengeluarkan sebuah kartu hitam mengilap miliknya untuk dipinjamkan pada Nana.

"Ibu yakin enggak perlu dianter?"

Teressa menggeleng. "Nanti kamu sama Pak Yono kemalaman kalau harus nganter saya dulu. Tolong pesenin taksi, ya!" Dia celingukkan mencari sesuatu. "Baju saya mana, Na?"

Nana sigap memberikan yang diminta. Baju bosnya sudah tergantung rapi tanpa lipatan. Sepertinya Nana sempat menyetrika bajunya saat Teressa sibuk pemotretan.

"Makasih, Na. Kabarin kalau taksinya udah dateng, ya?"

"Oke, Bu."

Ketika Nana keluar dari ruang make up, ponsel Teressa berdering. Nama kontak yang menghubunginya membuat Teressa terpaku dan hanya bisa menatap layar tanpa berkedip. Panggilan pertama dibiarkan tidak terjawab. Nomor yang sama memanggil lagi. Kali ini, Teressa berdeham karena sudah menyiapkan diri.

"Hallo?"

"Hi. It's me."

"I know it's you. What's up?" Teressa menjaga suaranya tetap datar.

"Lagi di mana sekarang?"

"None... of your business."

Lawan bicaranya tertawa. "Masih jutek aja, sih?"

"Gue sibuk. Ada apaan?"

"Enggak ada yang terlalu mendesak, kok. Cuma pengen tahu kabar lo. Gue baru balik dari Singapura."

Teressa menahan dirinya agar tidak menggeletukkan gigi. "So?"

"So, gue pengen ketemu elo. Catch up. Waktu di konser kemarin, kita enggak sempat ngobrol banyak karena lo langsung pergi sebelum konser selesai. Gue kira lo kabur dari gue."

Teressa tertawa sumbang untuk menutupi kegugupannya. "Gue? Kabur dari konser Scavenger demi menghindari lo?" tanyanya sarkas. "Emang lo sepenting apa sampai gue kudu ninggalin Scavenger?" Kontras dari cara bicaranya yang jutek, sebenarnya Teressa ingin menangis karena mengingat kejadian itu. Indonesia adalah lokasi terakhir konser Scavenger di Asia Tenggara. Setelah itu, mereka mengumumkan hiatus dari jadwal tur dunia untuk beristirahat mengingat usia mereka sudah tak muda lagi. Setitik air mata kekesalan turun ke pipi Teressa kala mengingat betapa enerjiknya George di konser kemarin.

"Dinner, then?"

"Umm..." Teressa menahan isakannya.

"Ayolah! Gue kangen sama lo. Masa lo tega, sih, enggak mau ketemu gue padahal gue udah ngemis begini?"

"Dinner... di mana?"

"Gue tunjukkin tempat bagus. Lo di mana sekarang? Bawa mobil?"

Teressa menyebutkan lokasi gedung tempatnya melakukan pemotretan dan mengatakan kalau dia hendak naik taksi.

"Gue jemput, deh. Enggak jauh dari tempat gue sekarang. Mau sekalian mampir ke mall dekat situ. Lo udah laper banget?"

Boro-boro lapar! Sejak bicara dengan Marda, perut Teressa rasanya hampir melilit karena mulas.

"Mau ngapain ke mall?"

"Ambil baju. Lo tunggu gue, ya. Jangan kabur lagi! See you, soon!"

Belum sempat Teressa menyahut, Marda sudah memutus panggilan.

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***


Falling Serenade [selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang