"Gue merasa perlu menjelaskan beberapa hal," ujar Marda ketika keduanya sudah masuk ke apartemen Teressa yang minimalis. Karena tinggal sendirian, dia memilih unit yang tidak terlalu luas supaya mudah dibersihkan. Semua ruangannya tak bersekat kecuali toilet, kamar mandi, dan sebuah walk in closet tempat dia menyimpan baju, perhiasan, sepatu, dan aksesoris lainnya.
Marda dapat melihat pemandangan kota dari balik tirai putih tipis yang menutupi dinding kaca besar di seberang ruangan. Tanpa lampu pun, apartemen ini tetap mendapat cahaya dari luar. Dan matahari tidak langsung menghadap ke arah sini, sehingga penghuninya tidak akan merasa kepanasan pada siang hari.
Teressa berjalan lurus menuju dapur untuk mengambil minuman dari lemari pendingin. Wajah datarnya membuat kepala Marda bekerja ekstra keras untuk memilih kata dengan hati-hati agar tidak memicu pertengkaran yang lain.
"Tentang apa?" tanya Teressa. "Tentang lo yang ninggalin gue tanpa kabar selama dua minggu setelah lo nidurin gue?"
Here we go. Marda mengembuskan napas berat lewat mulut, lalu berkata, "Lo mabuk."
"Justru karena gue mabuk, bisa-bisanya lo begitu!" Teressa menggebrak meja makan. Sekilas, raut Marda tampak terluka. Dia hampir kesulitan berkata-kata.
"Lo berpikir kalau itu kesalahan?" tanyanya.
Teressa membalikkan punggung.
"Tessa, jawab gue. Waktu itu lo mabuk, dan gue enggak maksa lo. Gue berani sumpah. Gue cuma pengen tahu, apa menurut lo itu kesalahan? Karena buat gue, itu salah satu malam terbaik yang pernah gue alami."
"You left, Marda!" seru Teressa seraya membalikkan tubuhnya ke arah Marda. "You left me there alone like I was a slut!"
"Nyokap gue jatuh sakit, Tessa!"
Raut Teressa berubah. "Apa?"
"Tentu lo enggak tahu karena lo enggak pernah mau tahu urusan gue. Gue keluar dari hotel jam setengah enam pagi karena dapat telepon dari Papa. Mama gue jatuh pingsan di kamar mandi, dan harus dibawa ke rumah sakit untuk operasi pengangkatan tumor otak. Karena itu gue enggak ngehubungin lo. Gue enggak sempat. Bukan berarti gue enggak peduli sama lo apalagi nganggap lo kayak yang lo bilang!"
"Setidaknya lo kasih tahu gue." Nada Teressa melembut. Ia berjalan menghampiri Marda. "Gue kenal nyokap lo. Gue bukan orang lain. Kenapa hal yang kayak begini harus gue minta dulu dari lo?" Teressa mendesah pelan. "Gimana keadaan nyokap lo?"
"Membaik. Masih di Singapur ditemenin keluarga."
"Syukurlah."
"Gue resign dari kerjaan gue."
Keheningan melingkupi mereka selama beberapa waktu. Teressa mengamati ekspresi Marda yang cukup serius. Dia belum percaya Marda sepenuhnya, tapi tidak menyangkal kalau dia sudah membuka hatinya.
"Sudah waktunya gue ngambil alih perusahaan." Marda tersenyum miris. "Gue enggak bisa hidup kayak yang gue mau. Baru sekarang gue sadar kalau keinginan gue begitu... egois." Dia mengangkat kepala. "Maaf gue enggak berhenti, padahal tahu kalau lo lagi mabuk dan mungkin akan melupakannya. I should have known better, but I don't regret that it happened."
"I enjoyed it too." Teressa menundukkan kepalanya. Wajahnya seketika memanas ketika mengakui itu.
"Glad to know." Marda tersenyum simpul.
"It was my first time." Bukan waktu yang tepat untuk membahas malam itu setelah mendengar kabar buruk tentang mama Marda, tapi entah mengapa Teressa merasa perlu mengatakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Falling Serenade [selesai]
ChickLitTeressa bertemu cinta pertamanya di usia lima belas. Namanya masih terpatri dalam memori Teressa setelah belasan tahun berlalu. Marda, lelaki licik yang selalu membuat Teressa naik darah setiap kali mereka berjumpa. Setelah sekian lama berpisah untu...