"Jul, kita bicara besok, ya? Please?"
Klik. Telepon ditutup sepihak. Upaya berdamai dengan Juliette gagal, untuk sementara. Sekarang urusan dengan suaminya. Teressa setengah berlari menghampiri Marda yang berwajah muram. Tentu saja dia begitu. Kalau Teressa yang mendapat kiriman bunga lili sebanyak ini, dia juga akan suntuk setengah mati. Memangnya siapa yang lagi berduka?
"I'm so sorry." Marda terpana. Baru kali ini dia mendengar Teressa menurunkan harga dirinya dan meminta maaf lebih dulu. "Sebenarnya bukan ini yang mau aku kirim ke kamu. Somehow, asistenku ceroboh dan melakukan kesalahan. Maaf, ya?" Marda semakin terpana. Dia menatap Teressa bagai melihat alien. Apa hubungan mereka sudah ada kemajuan?
"Err..." Saking kagetnya, Marda sampai sulit berkata-kata.
Teressa menarik pelan lengan lelaki itu untuk membelakangi Stevie yang berdiri agak jauh dari mereka. "Stevie hamil," bisiknya.
Marda menoleh ke belakang, rautnya lebih terkejut lagi. "Memangnya dia sudah puber?"
Teressa mengangguk lalu menunjukkan tiga testpack pada lelaki itu. "Semuanya positif. Usianya belum genap lima belas." Dia dan Marda saling menatap untuk beberapa lama. "Setahuku, kehamilan di bawah usia delapan belas punya risiko tinggi. Kita harus bawa dia ke dokter. Secepatnya."
"Orang tuanya sudah diberitahu?"
Teressa menggeleng.
"Kita harus beritahu orang tuanya." Karena terganggu dengan banyaknya bunga lili di antara mereka, Marda memindahkannya ke tangan lain. "Kamu enggak bisa menyembunyikannya di sini."
"Memangnya kenapa?"
"Kamarnya cuma satu."
"Terus?"
"Masa aku tidur di sofa lagi?"
Teressa memukul pelan perut Marda sampai lelaki itu mengaduh. "Lagi gawat begini, malah itu yang kamu pikirin!"
Di luar dugaan, Marda justru terkekeh. Dia senang dengan perubahan ini. Teressa sudah menurutinya untuk ber aku-kamu. Mendadak, masalah bunga lili jadi termaafkan begitu saja. Toh, hanya bunga. Teressa tidak bermaksud mengiriminya lelucon sejak awal.
"Kita bawa dia masuk dan bicara."
"Bersikap lembutlah padanya."
"Sudah kucoba!" Teressa berbalik dan memanggil Stevie mendekat. "Sini, Stev. Kenalin, Marda. Kakak ipar lo."
Stevie hanya mengangguk. "Gue pengen duduk, Kak. Kepala agak pusing."
"Oh, right!" Teressa buru-buru membuka kunci unit lalu mempersilakan Stevie masuk lebih dulu. Sebelum dia menyusul, lengan Marda menahannya.
"Kita harus beritahu orang tuanya." Marda mengulang.
"Dia bisa habis digebukin bokap."
"Setidaknya mereka perlu tahu kalau kehamilan Stevie berisiko."
"Kita pikirin nanti. Yang penting sekarang, ngurus Stevie dulu."
Marda mengalah. "Ya, sudah."
Keduanya menyusul masuk dan melihat Stevie sedang merebahkan dirinya di sofa. Wajah remaja yang sebentar lagi jadi ibu itu tampak amat pucat.
"Ke dokternya enggak sekarang aja? Aku bawa mobil di bawah." Marda menyarankan.
Teressa mengangguk. "Biar dia istirahat sebentar, baru kita antar."
***
"Karena kehamilan ini terjadi di bawah 18 tahun, maka kehamilannya termasuk berisiko tinggi, membahayakan ibu dan janin. Kami sarankan untuk rajin kontrol di rumah sakit supaya bisa dipantau langsung oleh dokter kandungan," ungkap dokter setelah memeriksa hasil lab dan USG pada mereka semua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Falling Serenade [selesai]
ChickLitTeressa bertemu cinta pertamanya di usia lima belas. Namanya masih terpatri dalam memori Teressa setelah belasan tahun berlalu. Marda, lelaki licik yang selalu membuat Teressa naik darah setiap kali mereka berjumpa. Setelah sekian lama berpisah untu...