Aakon Gemilang, Tbk. merupakan perusahaan induk milik keluarga Tjokroadinoto yang memayungi belasan anak perusahaan lainnya. Saat ini Marda sedang dalam masa training untuk menggantikan ayahnya menjadi Presiden Direktur, hal yang sama sekali tidak dinikmati olehnya. Dia heran bagaimana nasib banyak perusahaan bergantung pada keputusannya sebagai pemimpin. Jika keputusannya benar, tidak ada pujian karena memang itulah tugasnya. Namun, jika keputusannya salah, semua telunjuk akan berlomba mengarah padanya.
Hal itu tak jarang membuat Marda frustasi sendiri. Dia sering pulang ke rumah dalam keadaan lelah atau bahkan tertidur di tengah forum rapat. Demi mengurangi beban pekerjaannya yang melebihi gunung, Marda merekrut tim khusus sebagai asistennya. Itu pun berkat saran dari Teressa.
"Lo cuma manusia biasa. Kesalahan enggak akan pernah luput dari keputusan yang lo buat. Tugas lo buat meminimalisir risiko dari kesalahan itu. Rekrut orang yang lo percaya supaya lo terbantu buat mengerjakan tugas kantor yang sebenarnya enggak perlu lo kerjain sendiri. Lo seorang pemimpin, bukan budak korporat lagi."
Bisa dibilang, dia berguru pada Teressa. Semua sarannya terbukti amat membantu.
Telepon yang berdering di meja kerja langsung diangkat oleh Marda karena dia tidak tahan pada suaranya.
"Ya?"
"Di bawah ada tamu yang datang untuk menemui Bapak. Belum bikin janji, tapi dia berpesan kalau Pak Marda akan menyesal kalau enggak mau menemui." Sekretarisnya berujar.
Awalnya Marda mengernyit bingung, tapi beberapa saat kemudian, dia sadar siapa yang datang.
"Suruh dia naik dan langsung masuk ruangan saya. Tolong sekalian kosongin sisa jadwal saya sore ini karena sebentar lagi saya mau pulang."
"Meeting nanti sore mau digeser besok?"
"Kamu atur aja."
"Baik, Pak."
Marda menunggu dengan gelisah. Setelah lima menit berlalu dari telepon sang sekretaris, pintu ruangannya akhirnya dibuka. Teressa masuk sendirian. Lengkap dengan langkahnya yang anggun dan tampak arogan.
Wanita itu melihat sekeliling dengan pandangan menilai setelah pintu di belakangnya ditutup oleh sekretaris Marda.
"Kok enggak ngabarin?" Marda menahan dirinya untuk tidak langsung menghambur memeluk wanita itu, meski dia tahu kalau Teressa istrinya. Dia tidak tahan memupuk rindu lebih lama. Namun, ada batas-batas yang belum didiskusikan bersama oleh mereka. Marda khawatir jika dia melewati batas itu, tubuhnya akan dibanting lagi.
"Surprise!" balas Teressa dengan ekspresi datar sambil membuka tangannya lebar-lebar. "Come here and hug your wife. Katanya kangen?"
Marda pasti gila kalau melewatkan kesempatan itu. Tanpa ba-bi-bu dia menghambur ke depan untuk memeluk Teressa erat-erat, menghirup aromanya dalam-dalam lewat lekukan leher wanita itu yang amat wangi. Marda mengernyit. Dia tidak ingat punya koleksi parfum yang ini.
"Lo pake parfum apa?" Suara Marda teredam di leher Teressa.
"Chanel."
"Gue kira lo suka produk lokal."
"Untuk parfum, enggak."
Marda mengerjap seraya melepas pelukan mereka. "Tapi, di wawancara lo bilang kalau lo cuma beli parfum lokal." Dan Marda membeli semua parfum yang disebut Teressa, mengoleksinya di lemari khusus.
Teressa memutar bola mata. "Gue bilang begitu buat mempromosikan produk mereka. Gue dibayar buat itu. Lo tahu endorse, 'kan?"
Marda menggeleng. Sialan, berarti selama ini dia mengoleksi parfum yang salah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Falling Serenade [selesai]
ChickLitTeressa bertemu cinta pertamanya di usia lima belas. Namanya masih terpatri dalam memori Teressa setelah belasan tahun berlalu. Marda, lelaki licik yang selalu membuat Teressa naik darah setiap kali mereka berjumpa. Setelah sekian lama berpisah untu...