"Tessa, tunggu!"
Marda berhasil menyusul Teressa yang buru-buru pergi dari pub setelah mengemasi barangnya. Teressa hendak turun lewat pintu darurat, tapi lengannya lebih dulu ditahan. "Tunggu dulu! Lo kenapa?"
"I don't know why I'm doing this!" Teressa bergumam sendiri.
"Doing what, Tessa? Hey, look at me!" Marda memegangi kedua bahu Teressa kemudian membuat wanita itu mau menatapnya. "Tell me what's wrong."
"Ketemu lo lagi itu satu hal, tapi ini... sort of bullshit. Gue merasa diperalat. I don't like the feeling of being used for someone's advantage. You got your fucking building. What about me? Anak kuliahan yang mudah ditipu, katanya?" Mata Teressa berkaca-kaca.
"Maaf, Tessa. Untuk apa yang gue lakuin tadi, dan temen gue. Dia emang bajingan udah nyebut lo begitu. Kalau elo mau minta ganti rugi-"
"You humiliated me today."
"Gue... gue enggak tahu kalau yang gue lakuin tadi begitu mempengaruhi lo."
"Sebaiknya lo hapus nomor gue." Teressa memegangi kepalanya yang sedikit pening. "Dia ngasih minuman apa sih sampe gue pusing begini?"
"Martini. Lo enggak pernah mabuk sebelumnya?"
Teressa menggeleng. "Gue enggak terlalu suka minum."
"Explains a lot." Marda menggeleng. "Gue anter pulang. Sebentar, lo tunggu di sini. Gue mau ambil dompet sama kunci. Promise you'll wait for me."
Teressa hanya sanggup mengangguk. Dia menyandarkan tubuhnya pada dinding sebelah lift. Puas dengan respon Teressa, Marda kembali ke pub sambil setengah berlari. Ketika dia kembali, mereka tak terlibat obrolan lagi selain waktu Teressa menunjukkan jalan menuju apartemennya.
"Gue serius waktu nyuruh lo hapus nomor gue." Teressa berujar saat Marda menghentikan mobil di depan lobi.
"What can I do to fix everything?" tanya Marda tanpa menatapnya. "Gue yakin orientasi lo bukan uang."
Teressa menelan ludah. Kepalanya masih pening, tapi sudah tidak seburuk tadi. Dia tidak pernah punya waktu untuk bersantai dengan minum-minum. Perutnya tak terbiasa.
"Ada beberapa hal yang enggak bisa gue katakan gitu aja ke elo." Seperti kekecewaan terhadap perlakuan Marda hari ini kepadanya, atau rasa penasarannya tetang status pertunangan Marda, atau atas impulsifnya pilihan Marda untuk memilihnya sebagai saksi hibah warisan. Teressa sadar kalau menaruh ekspektasi pada seseorang hanya akan membuatnya patah hati. Karena dia peduli pada perasaannya, maka dia memilih untuk tidak mau tahu alasan-alasan Marda.
"Gue kira lo tetap akan blak-blakan kayak dulu."
"People change, Marda." Teressa melepas seatbelt. "Tolong sampaikan maaf gue ke temen-temen lo. Yang tadi itu enggak sopan. My first impression was really bad."
"Lo enggak salah. Temen gue bersedia ngebalikin duit lo."
Teressa hanya mengangguk samar. "Makasih buat makan malamnya."
Marda tak menjawab.
"See you around, then."
"Tessa," Panggilan Marda mencegah Teressa membuka pintu mobil. Lelaki itu terlihat hendak mengatakan sesuatu. "Nothing," ujarnya kemudian. "Selamat istirahat."
***
Teressa memainkan garpunya di atas greek salad yang menjadi makan siangnya hari ini. Juliette duduk di depannya, sedang menikmati caesar salad dengan raut dilipat. Keduanya tak saling bicara sejak suapan pertama, hanya saling menatap makanan, sibuk dengan pikiran masing-masing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Falling Serenade [selesai]
ChickLitTeressa bertemu cinta pertamanya di usia lima belas. Namanya masih terpatri dalam memori Teressa setelah belasan tahun berlalu. Marda, lelaki licik yang selalu membuat Teressa naik darah setiap kali mereka berjumpa. Setelah sekian lama berpisah untu...