"Lagi ngapain?" ulang Teressa.
Marda mengerjap. Ia meletakkan kembali kotak coklat tua ke dalam laci dan menutupnya dengan hati-hati. "Lihat-lihat aja." Lelaki itu menyandarkan punggungnya ke kursi, seolah hal yang baru dilihatnya sama sekali tak membuatnya terganggu.
Teressa mengangguk-angguk. "Keluar, gih!" usirnya. "Gue mau ganti baju."
"Gue kan suami lo."
"Ya, terus?"
"Ya, silakan kalau mau ganti baju. Gue tetep di sini."
"Mau nonton?"
Marda hanya tersenyum. Teressa memutar bola mata. Ia pergi ke closetnya untuk mengambil baju, lalu beralih ke kamar mandi. Tak lama terdengar dengung mesin pengering rambut. Marda mendesah pelan. Sulit sekali menaklukkan Teressa, pikirnya. Sewaktu wanita itu keluar dari kamar mandi, penampilannya sudah berubah. Rambutnya yang panjang terurai lembut di belakang punggung. Dia mengenakan celana pendek dan kaus longgar. Penampilannya nyaman dan kasual.
"Kalau gue pikir-pikir, kayaknya lebih enak di sini." Marda melihat sekeliling. "Ranjang lo luas. Bisa buat berdua."
"Kalau mau nginep, lo tidur di luar. Ranjang gue anti ditidurin orang lain. Kalau enggak mau tidur di sofa, lebih baik lo pulang."
Marda tertawa kecil karena omongan ketusnya. "Maksudnya, gue udah males gerak."
Teressa berdecak, melepas slipper, lalu naik ke ranjang. Perut kenyang, badan sudah bersih, tinggal tidur nyenyak saja. "Terserah lo mau ngapain di rumah gue, tapi jangan sekali-kali ganggu gue tidur. Gue ada meeting besok pagi." Dia berpesan sebelum memasang masker mata. "Ada selimut di lemari bawah. Lo bisa tidur di sofa."
"Gue dianggurin, nih?"
Teressa tak menjawab, sengaja menulikan telinga karena dia ingin memaksimalkan waktu istirahatnya. Marda menunggu sampai terdengar dengkuran halus dari Teressa sebelum ia membuka kembali laci untuk memperhatikan kotak coklat sekali lagi. Thorntons mengeluarkan varian kotak edisi terbatas saat itu sehingga Marda tak salah mengenalinya. Ia tersenyum sambil melihat ke arah Teressa yang sedang tidur, tak menyangka kalau wanita seketus dia rupanya tipikal orang yang sentimental karena menyimpan hal semacam ini hingga bertahun-tahun.
Tengah malam, Teressa terbangun. Marda tak ada di kamarnya. Dia hampir yakin kalau lelaki itu sudah pulang karena tak betah dilanda kebosanan. Nyatanya, lelaki itu tertidur di sofa ruang tamu. Jasnya diletakkan begitu saja di atas sandaran, sedangkan dia tidur meringkuk dengan menggunakan lengan cushion sebagai bantal. Teressa tak sampai hati melihatnya. Ia mengambil selimut dari kabinet untuk menutupi tubuh Marda.
Dalam tidur pun, raut Marda tampak lelah. Tangan Teressa bergerak begitu saja untuk mengusap kepala lelaki itu, mengakibatkan keningnya berkerut sedikit. Kelihatannya dia sedang mengalami mimpi buruk. Usapan di kepalanya tak berhenti. Sampai beberapa saat, kening Marda berangsur rileks lagi. Teressa meletakkan bantal cushion di bawah kepala Marda secara perlahan sebelum dia sendiri kembali ke kamar untuk lanjut beristirahat.
***
Harum aroma mirip butter membelai hidung Teressa. Dia segera terbangun dari mimpi yang tak lagi dia ingat sejak membuka mata. Sewaktu ia melepas masker mata, pintu kamarnya ternyata sudah dibuka lebar-lebar. Bagai terhipnotis, Teressa segera turun dari ranjang, memasang slipper, lalu keluar dari kamar menuju dapur, mengikuti bau harum yang membangunkannya tadi. Pemandangan ganjil Marda yang sedang membalik french toast di wajan membuatnya terpana. Lelaki itu tampak luwes menggunakan peralatan masaknya. Sewaktu Marda berbalik untuk meletakkan french toast ke atas piring, ia beradu pandang dengan Teressa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Falling Serenade [selesai]
ChickLitTeressa bertemu cinta pertamanya di usia lima belas. Namanya masih terpatri dalam memori Teressa setelah belasan tahun berlalu. Marda, lelaki licik yang selalu membuat Teressa naik darah setiap kali mereka berjumpa. Setelah sekian lama berpisah untu...