Siapin coklat biar kalian enggak ikut emosi.
Kalau ada, sih.
***
"Dia anak tukang kebun di rumah Papa."
Kalimat itu membuat kepala Teressa berputar hingga ia harus berpegangan pada sisi meja. Dosa apa yang telah dilakukan leluhurnya sampai generasi terakhir keluarga melakukan hal hina tanpa menyesalinya?
"Berapa usianya?"
"Lo tahu usia isi perut gue."
Teressa menggeleng. "Bukan. Bapaknya." Menyebut usia perut terdengar ganjil.
"Enggak tahu. Dia putus sekolah waktu SD."
Kepala Teressa makin pening. "Bokap tahu?"
Stevie menggigiti bagian dalam pipinya. Terlihat ragu. "Papa nanya, tapi enggak gue jawab. Keburu lari. Takut ditempeleng lagi."
Teressa meletakkan kedua tangannya di atas kedua bahu Stevie, sedikit meremasnya. "Lo tahu kan kalau kehamilan ini," ujar perempuan itu seraya memandangi perut Stevie yang rata. "-salah?"
Stevie tak berani menatapnya ketika ia menelan ludah.
"Stev, terlepas dari perut siapa lo lahir, lo tetap adek gue satu-satunya." Teressa melanjutkan. "Gue mungkin benci sama mama lo, tapi gue menganggap lo keluarga. Jadi, Stev, gue minta kerja sama lo supaya masalah ini enggak berlarut-larut."
Bibir bawah Stevie bergetar. Sebulir air mata jatuh ke pipinya, tapi buru-buru dihapus dengan kasar. "Gue harus apa, Kak?" ulangnya lagi seperti terakhir kali.
"Jujur sama gue. Apa lo dipaksa waktu itu?"
Stevie menggeleng.
"Jangan bohong, Stevie. Lo dipaksa atau enggak?" Teressa bertanya sekali lagi. "Jawaban lo akan menentukan nasib laki-laki berengsek itu."
"Jangan salahin dia, Kak! Kami melakukannya karena pengen tahu rasanya."
Teressa memejamkan mata. Sungguh polos adiknya ini. "Lo masih di bawah umur, Stevie. Kalau laki-laki itu usianya jauh di atas elo, dia pasti kena pasal dan masuk penjara. Ngerti sekarang?"
"Gue bisa bersaksi kalau dia enggak maksa gue-"
"FUCK WITH THAT," seru Teressa di depan muka Stevie sampai adiknya itu terkejut dan ketakutan. "You understand nothing," sambung Teressa dengan suara lebih pelan. Elo goblok dan naif! Jeritnya dalam hati. "Shit, gue butuh waktu. Panggil gue kalau butuh sesuatu." Teressa bergegas pergi ke closet mini dan mengunci pintunya dari dalam. Kemungkinan kalau Stevie dipaksa oleh orang dewasa sampai mengakibatkan dia hamil terlalu mengerikan bagi otak Teressa.
Tangan Teressa otomatis men-dial nomor Marda.
"Ya, Babe?"
Dia tak punya waktu untuk merasakan degup jantung menggila karena panggilan itu. "Aku udah tahu pelakunya."
"Pelaku apa?"
"Stevie."
"Ah, I see. Someone we know?"
"Someone my family know very well. Aku masih belum tahu yang mana karena di rumah Papa ada empat orang tukang kebun, dan mungkin bertambah sekarang."
Di seberang hening. Sepertinya Marda juga kesulitan untuk mencerna informasi ini.
"Aku akan antar Stevie pulang dan memastikan sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Falling Serenade [selesai]
ChickLitTeressa bertemu cinta pertamanya di usia lima belas. Namanya masih terpatri dalam memori Teressa setelah belasan tahun berlalu. Marda, lelaki licik yang selalu membuat Teressa naik darah setiap kali mereka berjumpa. Setelah sekian lama berpisah untu...