Sekalian update buat Rabu. Enjoy...
***
Marda berhasil mengajak mertuanya untuk pindah dan bicara di ruang kerja. Linda turut serta. Sebelum pergi, Marda meminta Teressa untuk segera mengobati pegawai yang habis dipukuli Herman Hagi, sekaligus menenangkan Stevie yang syok. Teressa menurut. Sejak Marda datang, semua pegawai bisa bernapas lega.
"Nggak Tessa, nggak adiknya, sama-sama bikin saya naik darah!" gerutu Herman Hagi ketika ketiganya sudah berada di ruang kerja yang tertutup.
"Sebenarnya Tessa lebih mirip Papa daripada yang Papa kira," ucap Marda sambil tersenyum kecil.
Herman melepaskan dua kancing kemejanya karena terlalu gerah sambil melirik Marda dengan sewot. "Sudah, Marda. Kamu jangan ikut-ikutan juga."
"Mereka berdua masih kecil, Mas," ujar Lina setelah lama membisu. Seperti yang lain, dirinya juga syok melihat Herman Hagi mengamuk bagai kesetanan, sampai-sampai dia tak berani menenangkan apalagi turun tangan seperti Teressa. "Pikirkan keselamatan anak dan cucu kita."
Herman Hagi membuat gestur meludah ke lantai. "Aku enggak sudi punya cucu dari keluarga miskin. Lebih baik aku mati berdiri."
"Jangan ngomong begitu, Pa. Omongan bisa jadi doa," timpal Marda.
"Ya, coba kamu pikir, lah. Usia Stevie belum genap lima belas. Bisa-bisanya dia-" Herman mengacak rambutnya sendiri. Rautnya begitu frustasi. "Mau ditaruh di mana muka saya kalau sampai berita ini bocor ke luaran sana?" Ia menatap istrinya sengit. "Kamu juga! Enggak becus jagain anak! Apa saja kerjamu selama ini? Menghamburkan uang saja bisanya!"
"Mengurus Stevie bukan cuma tugasku, Mas. Kamu juga."
"Sudah, sudah," lerai Marda. "Yang penting sekarang, bagaimana kita menyelesaikan masalah ini. Apa opsinya?"
"Ya digugurkan lah!" Jawaban Herman terdengar final.
"Saya punya kenalan dokter di luar negeri. Keberhasilannya hampir 99% dan tanpa risiko. Kita bisa bawa Stevie ke sana," sambung Linda. Keputusannya begitu cepat berubah dari yang tadinya memikirkan nasib anak-cucu ke pilihan aborsi, mengikuti suaminya.
Marda geleng-geleng kepala. "Yang sedang kita bicarakan ini janin, lho. Bakal calon manusia. Cucu kalian. Bagaimana kalian bisa setega itu?"
"Kamu jauh-jauh datang kemari untuk membela istrimu?" Herman bertanya balik.
"Bukan begitu, Pa. Seperti yang Mama bilang, ada 1% kemungkinan aborsinya enggak berhasil. Belum lagi itu tindakan ilegal."
"Kita cari dokter di negara yang melegalkan aborsi," cetus Herman.
"Lalu bagaimana dengan perasaan Stevie? Apa dia bersedia?"
"Anak itu belum bisa membuat keputusan."
"Tapi, dia ibunya." Marda menatap mereka berdua bergantian. "Bayangkan bagaimana rasanya kalau janin itu anak kalian."
"Marda, cari perbandingan yang apple to apple lah."
Menantunya itu menghela napas lelah. "Baik aborsi maupun membiarkan anak itu lahir sama-sama berisiko bagi Stevie."
"Lalu, apa jalan keluar yang bisa kamu tawarkan?" Membicarakan nasib Stevie dan cucu mereka terdengar seperti penawaran proposal bisnis. "Saya enggak mau anak itu lahir. Titik."
"Bagaimana kalau kita biarkan Stevie mengandung- tolong dengar dulu," Marda mengangkat kedua tangannya sebelum Herman sempat membantah keras. "Dia akan berada di bawah pengawasan saya dan Tessa. Kami juga kenal dokter-dokter terbaik. Ketika anak itu lahir, kami akan mengambilnya sebagai anak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Falling Serenade [selesai]
ChickLitTeressa bertemu cinta pertamanya di usia lima belas. Namanya masih terpatri dalam memori Teressa setelah belasan tahun berlalu. Marda, lelaki licik yang selalu membuat Teressa naik darah setiap kali mereka berjumpa. Setelah sekian lama berpisah untu...