Pagi-pagi Marda sudah dibangunkan oleh perdebatan antara Teressa dan Stevie. Mereka meributkan entah apa, dan Marda belum siap bangun karena sekarang masih pukul setengah enam pagi. Dia memejamkan matanya sekali lagi sambil menyayangkan alasan Teressa memilih unit apartemen yang tak bersekat begini. Semalam mereka tidur berjejalan di sofa dalam posisi berpelukan. Lengan Marda rasanya sakit setelah menjadi bantal istrinya semalaman. Teressa tak bisa mengklaim ranjangnya karena Stevie sudah lebih dulu tidur di sana.
"Lo tetap harus sekolah!" Teressa bersikeras.
"Cuma karena gue nginep sehari di sini, bukan berarti lo bisa nyuruh gue ini-itu!" balas Stevie tak kalah sewot.
Marda menutup kedua telinganya dengan bantal cushion. Selama Stevie dalam pengawasan Teressa, sebaiknya mereka segera pindah ke penthouse Marda saja. Setidaknya di sana bersekat, dan mereka punya privasi.
Tak lama berselang, terdengar suara orang muntah. Marda melompat bangun dan melihat Stevie jatuh terduduk di lantai. Teressa mendampinginya.
"Mual banget, Kak. Gue enggak mungkin sekolah dalam keadaan begini. Lagian gue enggak bawa seragam ganti." Stevie mengeluh sambil memegangi perutnya yang masih rata.
Marda mengambil minyak angin dari kantong belanjaan semalam untuk diberikan pada Teressa.
"Ini normal. Namanya morning sickness. Rata-rata ibu hamil merasakan ini." Teressa mengusap punggung Stevie dengan lembut sambil mengoleskan minyak angin ke tengkuk Stevie.
Marda yang melihat mereka hanya bisa geleng-geleng kepala. Sebentar bertengkar, sebentar rukun. Mungkin ini yang disebut dinamika persaudaraan. Berhubung dia anak tunggal, jadi tak pernah merasakannya.
"Kita perlu ke rumah sakit lagi?" tanyanya.
Teressa menggeleng. "She'll be fine. Bisa tolong ambilkan Hpku di meja?"
Marda melakukan yang disuruh, lalu menyerahkan ponsel itu pada Teressa. Wanita itu mengetik pesan singkat yang ditujukan pada asistennya, mengabarkan kalau hari ini dia tidak akan ke kantor. Harus ada seseorang yang menjaga Stevie, dan Marda tidak punya kualifikasi untuk itu.
"Apa Stevie mau makan sesuatu?" tanya Marda sedikit ragu.
"Lagi mual begini, malah ditawarin makan!" Stevie justru menggerutu. Teressa mencubit lengannya sampai gadis itu mengaduh.
"Siapa suruh hamil, hah?" Dia mencubit lagi karena amarahnya kembali terbit. "Siapa pecundang yang menghamili lo?"
"Kalau gue bilang, terus apa?" balas Stevie sengit. "Kakak mau nyuruh dia tanggung jawab?"
"Ya iyalah, bego! Tanggung jawab enggak harus dalam bentuk pernikahan! Gue enggak sudi punya ipar tolol kayak dia!"
Marda mengusap wajahnya sambil mendesah pelan. Satu setengah jam lagi dia harus ke kantor. Namun, dia mengkhawatirkan keadaan dua kakak-beradik itu. Dan jujur saja, dia masih ingin tinggal lebih lama dengan Teressa.
"Lo enggak tahu apa-apa tentang dia! Jangan ngatain sembarangan!" Stevie berpegangan pada dinding karena kepalanya tiba-tiba berputar. "Memangnya siapa yang mau hamil? Ini enggak disengaja!"
"This brat!" Teressa hampir memukul Stevie kalau saja bukan karena lengan Marda yang menahannya. Hidung Teressa kembang kempis selagi dia mengatur emosinya.
Marda menuntun Stevie untuk kembali ke ranjang agar gadis itu dapat beristirahat.
"Dia keras kepala!" dengkus Teressa ketika keduanya berada di dapur. "Dan bodoh!"
"Kamu juga," timpal Marda sembari tersenyum.
"Kamu ngatain aku bodoh?"
"Keras kepala aja, kok." Marda menyelipkan helaian rambut yang menutupi mata Teressa. Dia suka melihat wanita itu tanpa riasan dan rambut acak-acakan. Terlihat lebih manusiawi dan mudah diraih. "Kamu enggak akan bisa membuatnya bicara dengan cara begini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Falling Serenade [selesai]
ChickLitTeressa bertemu cinta pertamanya di usia lima belas. Namanya masih terpatri dalam memori Teressa setelah belasan tahun berlalu. Marda, lelaki licik yang selalu membuat Teressa naik darah setiap kali mereka berjumpa. Setelah sekian lama berpisah untu...