•
Malam terbangun saat terik matahari mengganggu acara tidurnya. Hari libur seperti ini paling enak bangun siang. Memanjakan tubuhnya.
"Malam, banguun!" Teriakan dari arah luar membuatnya semakin melebarkan kedua matanya.
"Iya ini udah bangun, Yah!" Balas berteriak, sedang dirinya masih belum ingin beranjak dari kasur nyamannya.
Ia meraih ponselnya, melihat apakah ada pesan baru untuknya. Ia sedikit terkejut saat mendapati tiga pesan dari orang yang sama. Orang itu, membuat suasana hatinya sedikit buruk.
Ia memejamkan kedua matanya sejenak. Ia juga tidak bisa lari terus menerus. Rasa sakit hatinya belum terobati. Saat orang yang dari masa lalunya pernah berkata, jika ia bisa mencari orang lain jika ia tidak kunjung pulang.
Ia merasa, entahlah. Ia bingung dengan dirinya sendiri saat ini. Malam seperti, sekarang ia sudah menemukan orang baru lalu tiba-tiba orang dari masa lalunya kembali.
Akhirnya Malam menyetujui ajakannya untuk bertemu. Mungkin sekarang ia bisa tahu alasannya. Setelah sekian tahun ia hanya penasaran seorang diri.Hatinya sedikit mencelos saat membaca balasan tersebut. Mungkinkah orang tersebut masih benar-benar menyukai dirinya? Atau hanya basa-basi saja.
Malam menututup ruang obrolan tersebut, ia bangkit berdiri dan bersiap-siap untuk mandi.
"Sarapan dulu, ayo." Sang Ayah memanggil saat Malam sudah selesai dengan acara mandinya.
"Nanti aja Yah, mau keluar dulu ini. Ketemu temen. Lagian Ayah kenapa jam segini masih dirumah?" Malam mrngernyitkan keningnya, setahunya hari libur sang ayah setiap hari sabtu dan minggu.
"Ayah ambil cuti, mau kerumah nenekmu. Nggak mau ikut?"
"Nggak ah, udah ada janji."
Malam melenggang pergi setelah itu. Kembali masuk kedalam kamar dan bersiap-siap untuk pergi.
Kaus hitam polos dan kemeja kotak-kotak coklat sudah melekat pada tubuhnya. Ia melihat dirinya didepan cermin, tidak buruk. Tak lupa ia menyemprotkan parfum yang biasanya ia pakai.
"Yah, aku pergi dulu ya. Nanti kuncinya ditaruh ditempat biasa aja, jangan dibawa kerumah nenek." Izin Malam, dengan segera menyambar kunci motornya dan keluar rumah.
Malam mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Masih ada beberapa menit lagi sebelum ia sampai ditempat tujuan. Tujuannya kali ini adalah tempat bermain anak-anak, tidak terlalu besar memang tempatnya karena berada ditengah-tengah pemukiman.
Dengan pelan-pelan Malam memarkirkan motornya. Lalu menuju kearah ayunan yang kini sudah ada seseorang disana.
Begitu Malam sampai, orang tersebut dengan segera berdiri. Lantas memeluk Malam dengan erat. Menyalurkan rasa rindu yang selama ini ia pendam. Sedang Malam hanya mematung, tidak membalas pelukan orang tersebut.
"Akhirnya kamu dateng." Pemuda tersebut melepaskan pelukannya, meski kedua tangannya masih mencengkram kedua lengan Malam.
"Aku bukan orang yang suka ingkar janji."
"Maaf, Malam. Aku bener-bener minta maaf sama kamu." Kedua kini duduk di ayunan. Hari ini taman bermain begitu sepi, hanya ada mereka berdua sekarang.
"Katanya mau ngomong." Malam membuka obrolan.
"Soal itu, aku bener-bener minta maaf kamu. Aku juga nggak mau ninggalin kamu waktu itu. Aku dipaksa pergi, agar sepupu aku nggak bisa ketemu aku. Aku dikirim ke luar negri. Sepupu aku..." Ia tidak melanjutkan penjelasannya, membuat Malam semakin penasaran.
"Langit." Pemuda tersebut menoleh, menatap Malam yang kini menoleh kearahnya. "Kalau aku bilang aku nyaman sama orang lain, gimana?"
Langit tersenyum, "Nggak apa-apa. Kalau itu yang bisa bikin kamu bahagia, aku juga ikut seneng, Malam." Langit tersenyum tulus, mungkin ini balasan untuknya karena pergi secara tiba-tiba.
"Tau nggak Malam? Sepupu aku, dia tidak diterima sama keluarga besar. Aku merasa kasihan sama dia, makanya aku selalu ada disamping dia. Orang tuaku nggak setuju kalau aku bantuin dia, makanya aku disuruh kuliah di luar negri. Mereka berusaha jauhin kami, padahal dia cuma punya aku. Cuma aku tempat dia bersandar. Malam, aku jahat ya? Aku ninggalin kamu dan sepupu aku yang lagi butuhin aku."
Malam mendengarkan cerita Langit dengan seksama. Ia tidak tahu jika keluarga Langit begitu rumit. Ia jadi merasa bersalah, pada Langit.
"Terus sepupu kamu, gimana?"
"Dia masih sama, masih sering nyimpen lukanya sendiri. Aku mau menebus kesalahan aku, Malam. Aku bakalan ada disamping dia, kapanpun dia butuh aku." Langit menoleh, tersenyum kearah Malam.
"Makasih udah cerita sama aku, Langit. Maaf karena udah ngecap kamu nggak baik."
"Nggak apa-apa, aku emang pantes dapetin itu. Aku juga seneng karena kamu udah punya seseorang yang bikin kamu nyaman, selain aku." Langit benar-benar tulus mengatakannya. Meski ia berharap, ia bisa bersama Malam lagi suatu hari nanti.
"Makasih, Langit."
"Mau pulang sekarang?" Langit bertanya.
"Mau nyari sarapan dulu kayaknya, tadi nggak sempet."
"Bareng aja, yuk. Aku juga belum sarapan tadi." Malam mengangguk, mungkin dengan begini ia bisa berdamai dengan masa lalunya. Malam tidak perlu membenci Langit seperti yang ia lakukan beberapa tahun belakang. Karena ia sudah tahu alasannya dan ia tidak bisa menyalahkan Langit terus menerus.
•