#25

54 3 0
                                    

Suara tendangan pintu terdengar cukup keras. Senja yang tengah terlelap dalam tidurnya tersentak. Kedua matanya terbuka secara tiba-tiba dan memandang kearah pintu. Masih tertutup, karena ia ingat menguncinya tadi malam. Kembali, suara tendangan kali ini lebih besar.

"Bangun! Kamu sakit malah nambahin beban aja! Buruan keluar atau saya hancurin ini pintu!" Teriakan dari luar membuat kepalanya pening.

Senja bangun perlahan, tangan kirinya yang patah masih terasa sedikit sakit. Ia bahkan harus menggantung tangannya.

Ia memutar kunci, lalu membuka pitu. Sang ayah masih berada diambang pintu. Bersedekap, dengan tatapan mata tajam kearah dirinya.

"Pagi, yah." Sebisa mungkin Senja menyapa sang ayah. Karena bagaimana pun, ia hanya mempunyai ayahnya.

Tak ada jawaban dari sang ayah. "Ada perlu apa?" Tanyanya kemudian.

"Bulan depan saya mau nikah," Deg. Hati Senja mencelos begitu saja. Apa yang diucapkan sang ayah bagai belati untuknya.

Senja menunduk, ia jelas tahu apa yang akan diucapkan sang ayah selanjutnya.

"Saya harap, kamu udah pergi dari rumah sebelum pernikahan saya. Saya nggak mau istri saya ketemu kamu." Meski tidak ada bentakan di saja, tetap saja hati Senja terasa sakit.

Bahkan sekarang, keluarga satu-satunya yang ia punya mengusirnya. Mendorong dirinya agar segera menjauh.

Yoga berlalu dari sana setelah mengatakan apa yang ia mau. Meninggalkan Senja yang kini sudah merosot jatuh. Memeluk kedua kakinya, menangis dengan diam.

Ia tidak tahu lagi kemana ia akan pergi setelah ini. Ia juga tidak mungkin menghubungi Langit dan meminta bantuannya. Apalagi Riko, ia sangat sungkan meminta bantuan pada temannya tersebut. Lalu, bagaimana dengan Malam? Membayangkannya saja, Senja tidak mampu. Ia tidak ingin menyusahkan Malam.

Ponsel yang ia taruh di atas tempat tidur berbunyi. Setelah menyeka air matanya, Senja dengan segera masuk kedalam kamarnya.

Nama Langit tertera di layar ponselnya yang nyala. Setelah beberapa kali berdeham, memastikan jika suaranya baik-baik saja, Senja mengangkat panggilan dari Langit.

"Halo." Sapa Senja setelah ia bisa mengontrol suaranya.

"Gue denger dari mamah, katanya om mau nikah lagi?" Suara Langit terdengar khawatir diseberang sana.

"Iya, baru aja tadi di bilang."

"Kapan?"

"Bulan depan."

"Kok mendadak banget? Terus lo gimana?" Senja terkekeh.

"Ya, gue nggak gimana-gimana. Selama ayah gue bahagia ya gue ikut seneng." Bohong, bahkan hatinya terasa sakit saat sang ayah bilang ingin menikah lagi. Ia belum rela, ia belum mau melepaskan keluarganya satu-satunya.

"Lo nggak disuruh keluar rumah, kan?" Senja terdiam, mau bilang tidak pun, kenyataannya memang ia diusir dari rumah.

"Nggak, tenang aja."

"Kalau ada apa-apa, bilang sama gue ya. Atau nggak bilang sama Malam. Gue yakin dia bakalan bantu lo kapan pun." Senja mengangguk, meski Langit tidak bisa melihat itu.

Panggilan terputus saat Senja berhasil meyakinkan Langit jika ia baik-baik saja. Saat ini ia harus mencari tempat tinggal untuknya nanti. Ia tidak akan meminta bantuan Langit lagi, apalagi Malam. Ia tidak ingin membebani orang-orang yang berarti untuknya.

Dengan keadaannya yang sekarang, ia juga tidak mungkin bisa mengendarai sepeda motornya.

Senja berdiam diri dikamar, memikirkan bagaimana ia akan mencari kost-kostan untuknya tinggal. Ia mencari-cari kost yang sekiranya cocok untuknya di media sosial. Ia punya waktu setidaknya tiga minggu.

Semesta [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang