#30

55 1 0
                                    

Malam

Entah sejak kapan, kebiasaan Malam kini berubah. Makin sering melamun tidak jelas, sedikit tidak fokus jika sedang diajak berbicara.

Riko menghampiri Malam yang kini tengah beristirahat, duduk di belakang toko yang memang sudah disediakan tempat untuk para pegawai beristirahat.

"Ngelamun aja, mikirin apa?" Tanyanya seraya mengulurkan minuman dingin. Membuat Malam sedikit tersentak.

"Ah, nggak. Nggak mikirin apa-apa," elaknya. Riko tersenyum samar. Tanpa bertanya pun sebenarnya ia tahu, ia hanya ingin berbasa-basi sebentar saja.

"Minum dulu." Malam mengangguk, mengucapkan terima kasih dan mulai meminum air yang dibawakan oleh Riko.

"Btw, gue mau minta tolong bisa?" Malam menoleh, menunggu Riko melanjutkan ucapannya. "Bos nyuruh ngambil bahan-bahan nanti pulang kerja, tapi gue lagi nggak bisa. Ada urusan di rumah, bisa lo ambilin, nggak?"

Tanpa berpikir lebih lama, Malam menganggukkan kepalanya. Sekalian cari udara segar, pikirnya.

Tempat penyimpanan yang Riko maksud ada di kota sebelah, tempat pemilik toko tinggal. Memang sedikit jauh, tapi Malam akan mengambilnya nanti.

Hari ini berjalan cukup baik bagi Malam. Waktu pulang kerja pun tinggal lima menit lagi. Dan kini para karyawan tengah membersihkan toko. Ada yang tengah menyapu lantai, mengelap meja dan membalik tulisan 'OPEN' yang ada di balik pintu dengan tulisan 'CLOSED'.

Pekerjaan hari ini selesai, tanpa ada komplain dari pelanggan. Ini merupakan kesenangan luar biasa dari koki. Itu artinya, kerjanya hari ini sungguh luar biasa.

Malam tengah mengganti pakaiannya dengan baju yang tadi ia pakai sebelum ganti dengan seragam. Jam yang berada di dinding sudah menunjukkan pukul 5 sore. Ia harus segera bergegas sebelum malam hari datang.

Riko memanggilnya setelah ia selesai bersih-bersih. Malam menghampiri, dengan langkah pelan menuju tempat Riko berada.

"Beneran nggak apa-apa sendiri? Apa sama Sandy aja tuh, longgar juga orangnya." Sang punya nama yang disebut melotot, tidak terima jika ia ikut terseret dalam obrolan tersebut. Ia hendak protes,

"Nggak usah, gue sendiri juga bisa. Cuma dikit kan? Buat nutup besok. Sisanya biar dikirim sama mamang yang biasanya." Malam membuka mulut, membuat Sandy menghembuskan napas lega.

"Iya, 10kg doang. Nanti pake karung, ditaruh depan." Malam mengangguk mengerti, lalu pamit bergi dengan menyelempangkan tasnya yang sedari tadi ia tenteng.

Ia pergi setelah itu, menaiki motor kesayangannya. Sebelum ia menyalakan sepeda motornya, ponsel yang ia taruh didalam tas berbunyi. Satu panggilan masuk.

Malam mengurungkan niatnya, lalu mengambil ponsel pintarnya. Satu nama yang ia kenal terpampang dilayar. Dengan segera ia menggeser tombol hijau. Panggilan pun tersambung.

"Halo, Malam?"

Suara Langit dapat ia dengar setelah itu, "Iya, kenapa?"

Malam berharap ia akan mendengar kabar Senja saat ini.

"Udah selesai kerja? Mau makan malem bareng?" Ia kecewa, ternyata bukan tentang Senja.

"Malam?"

"Ah iya, boleh. Dimana?"

"Ditempat biasa, bisa?" Malam mengangguk, meski ia yakin jika Langit tidak bisa melihat itu.

Panggilan tersebut berakhir saat Malam menyetujui usul Langit. Kini tujuannya berubah, ia akan menemui Langit terlebih dahulu sebelum ia mengambil tepung nanti.

Semesta [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang