Four

1.5K 205 31
                                    

Di waktu akhir pekannya, Hinata melakukan perjalanan menuju Osaka sendirian. Kota yang menyimpan sekeping masa lalunya. Tanpa membuat banyak pemberhentian, Hinata mengunjungi sebuah rumah di pinggiran kota yang bernuansa asri dan alami. Dulu pernah menjadi salah satu destinasi favoritnya. Dia punya seorang sahabat karib di sekolah, yang masih menjadi sahabatnya hingga kini. 

Menekan bel sekali, Hinata menunggu hingga seseorang membuka pintu pagar. Di hadapannya kini, seorang laki-laki bertubuh tinggi dan atletis, dengan kulit kecokelatan yang terlihat kontras dengan mata biru dan rambut pirangnya.

"Hinata? What a surprise..."

"Halo, Kak Naru."

Naruto terkekeh, mengundang teman adiknya untuk masuk. "Sendiri?"

"Iya, Kak."

"Kok nggak minta ditemenin Sasuke?"

"Nggak Kak."

"Elo kan bisa telpon gue dulu. Nanti gue jemput di stasiun." Naruto membuka pintu utama rumahnya. "Lo naik kereta kan?"

Hinata mengangguk. 

Ruangan utama rumah itu masih tak berubah. Kesan tradisionalnya masih begitu kuat, luas dan temaram. Elemen kayu mendominasi seisi rumah itu. 

Naruto membimbing tamunya duduk di lantai beralaskan tatami. Dia lalu ke dapur dan menyiapkan teh. Pekerjaannya sebagai pengrajin tembikar sepertinya masih mengisi sebagian besar waktu dalam hidupnya. Terbukti dari banyaknya peralatan makan yang bersimbol lingkaran khas Uzumaki. 

"So...?" Tawar Naruto. Masih dengan seyumnya yang ramah. "Udah siap untuk berdamai dengan masa lalu?"

"Minami nggak akan marah kan, Kak?"

"Menurut lo?" Hinata menunduk. Ragu untuk menjawab. "Adek gue itu cerewet, berisik, dan suka nggak tau malu. Tapi dia bukan orang yang egois. Gue udah sering bilang ke elo. Perasaan dia itu adalah miliknya. Nggak berarti harus jadi beban elo, Hinata."

"Tapi dia..." kalimat Hinata menggantung. Kini pandangannya beralih ke sudut ruangan di mana sebuah altar berada. Dengan sebuah pigura yang melindungi selembar foto seorang gadis berseragam khas SMA putri, dan dupa yang nyaris habis. 

"Kejadian itu udah lama banget. Berhenti menjebak diri elo dalam masa lalu. Minami itu sahabat elo kan? Dia pasti ngerti kalo elo milih untuk ngikutin perasaan elo."

Hari di musim semi itu harusnya Sasuke mendengar pengakuan cinta Minami untuknya. Hinata menunggu di kedai es krim bersama Sasuke, terpaksa menahan perih karena meski dia sadar perasaan Sasuke padanya, dan kemungkinan besar Sasuke menolak Minami, bukan berarti tidak mungkin Sasuke berpaling. Entah dari mana datangnya rasa tidak percaya diri itu. Cinta kadang membuat diri seseorang berubah menjadi tolol.

"Yang lo korbanin sekarang bukan cuma elo, tapi juga Sasuke. Lo sadar itu kan?"

Padahal Naruto tidak mengenal Sasuke secara personal. Dia hanya sering mendengar cerita Minami yang jatuh cinta pada pandangan pertama pada remaja Uchiha itu. Kisahnya tak pernah terjadi, Tuhan memanggilnya pulang sebelum dia sempat menyatakan perasaannya. Kecelakaan tunggal yang merenggut nyawa Minami juga seolah membunuh Hinata. 

"Life goes on, Hinata. Jangan sia-siain waktu yang elo punya. Ayo, jadi berani dan bahagiain diri lo. Pernah nggak lo mikir, kalau semua ini bagian dari takdir? Dan lo nggak bisa lari dari takdir lo."

Hinata memandang mata biru Naruto, dan menemukan keyakinan di sana. Seakan Minami yang duduk di ruangan itu bersamanya. Bukan saudara kembar laki-lakinya.

"Minum dulu tehnya," Tawar Naruto.

.

.

.

My Only OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang