1 minggu sebelum perjanjian.
"Kami akan membereskan semua orang yang mengganggu anda,"
"Tidak perlu, aku bisa membereskan mereka sendiri,"
"Nona akan mendapatkan apapun yang nona inginkan,"
"Tidak perlu repot, aku bisa mendapatkannya sendiri," memasukkan beberapa pakaian ke mesin pencuci, kenapa lama-lama aku ingin menonjok laki-laki ini, "aku harap anda segera pergi dari tempat ini atau saya akan berteriak dan orang akan mengira anda adalah laki-laki cabul yang menggoda perempuan yang sedang fokus mencuci baju."
Laki-laki itu bukannya takut malah tersenyum, ah... aku benci caranya tersenyum.
"Hubungi saya kapan saja jika anda berubah pikiran, nomer saya ada di kartu nama yang tadi anda terima,"
"ah... tertinggal di meja café," sahutku santai.
"ini.." laki-laki itu menyodorkan kartunya lagi.
Aku meraihnya, lantas memasukkannya kedalam tempat sampah di sampingku, "ah.. tanganku licin,"
"ini," dia menyodorkan lagi.
Aku mengambilnya lagi lantas dengan terang terangan membuangnya di tempat sampah, "Angin.."
"ini.." Lelaki itu mengambil lagi dari sakunya. Jangan-jangan di dalam sakunya juga ada pintu kemana saja. Baru kali ini aku bertemu lelaki bebal dan seperti kucing biru Dorameong -You know what I mean kan.
"Aku akan terus membuangnya," sahutku singkat dan duduk di sebelah tempat sampah, tepat paling tepat untuk menegaskan tindakanku.
Dia tersenyum ke arahku sambil melambaikan tangan kearah para pengawalnya. Dan pengawal berkemeja hitam itu mendekat membawa koper, "tenang, saya punya banyak,"
Tenang katanya.
Bagaimana aku bisa tenang. Aku seperti dikejar-kejar mesin pencetak kartu nama yang super keras kepala.
Para lelaki ini sudah mengikutiku sejak 2 hari yang lalu, lebih tepatnya ketika aku membuat sedikit keributan di sebuah café dipinggiran kota pada malam tahun baru. Sedikit keributan yang membuatku menghajar 5 orang lelaki 2 wanita, memecahkan setengah lusin gelas, mematahkan 2 kursi. Ah, lalu tanpa sengaja mencopotkan pintu café tapi aku sudah membetulkannya walau sedikit miring. Untuk perkara pintu itu sebenarnya tidak murni kesalahanku, andai saja wanita ulat bulu itu tidak bersandar di sana mungkin pintu itu tidak akan ambruk.
Lalu paman pemilik café itu memintaku ganti rugi, padahal jelas sekali bukan aku yang memulai perkelahian konyol itu. Jangan berfikir hanya karena mereka bertujuh babak belur dan aku tidak lecet sedikitpun lalu aku yang dianggap bersalah dan biang onar. Pemilik café dan tujuh orang yang babak belur mengancam akan melaporkanku ke kantor polisi dan maaf saja, aku tidak perduli.
Mungkin paman Rio dan kakak Tio akan memarahiku seperti biasa dan menghukumku membersihkan fasilitas umum minimal satu bulan. Andai kalian tahu, membersihkan terminal itu jauh lebih melelahkan apalagi jika kau harus membersihkan bekas permen karet. Ah, aku rasa aku tidak perlu menjelaskan hal ini lebih rinci demi kesehatan imajenasi kalian.
Tapi masalahnya adalah uang ganti rugi kerusakan. Paman itu pasti tetap menyuruhku membayar walau dia sudah menyeretku ke kantor polisi. Dia menuntutku membayar 3 juta. Padahal jika ditotal pun aku rasa kerugiannya tidak sampai sebanyak itu. Pintu kaca itu tidak pecah, hanya lepas dari engselnya. Apa aku pecahkan saja sekalian?
Yang jelas, aku harus segera menyelesaikan persoalan itu secepatnya. Karena aku harus segera mengantarkan paket sebelum jam tiga subuh. Atau aku akan mendapat denda dari kantor jasa pengiriman tempatku part time. Jangankan membayar sewa apartemen, uangku habis untuk membayar denda bahkan sebelum aku menerima gaji.
KAMU SEDANG MEMBACA
Without Words
RomanceAthana, gadis yang sudah menghabiskan 8 tahun hidup terpisah dengan keluarganya. Dia bekerja keras untuk menghidupi dirinya sejak lulus SMP. Menjaga minimarket, pengantar koran, pelayan cafe, penyebar selebaran bahkan supir pengganti. Sifatnya blak...