BAB 2 Kipas Merah yang Imut

7 2 0
                                    

Pagi ini cuaca sangat tidak bersahabat, hujan gerimis sejak kemarin sore, sedikit berangin namun aku merasa gerah. Gara-gara lelaki bernama Haru, acara loundry yang harusnya 1 jam sudah selesai malah molor hampir 3 jam. Alhasil aku kembali ke apartemen lebih sore dari yang aku perkirakan. Basah karena kehujanan dan ketika aku naik ke lantai 3, aku melihat nyonya pemilik apartemen sedang berdiri tepat di pintu apartemenku. Beliau sudah mencariku sejak 5 hari yang lalu, menagih uang sewa yang sudah menunggak 2 bulan.

Syukurlah saat itu beliau sedang fokus menatap pintu, jadi aku mundur dan kabur ke balkon lantai 3. Tempat paling aman untuk bersembunyi namun sedikit tidak aman untuk kesahatanku. Aku berdiri disana mengawasi pintu gerbang untuk memastikan nyonya pergi dengan mobil hijaunya. 30 menit berdiri dengan baju basah dan angin yang menggila dan tada... pagi ini aku bangun dengan suara yang sexy. Tenggorokanku sakit dan dan hidungku sedikit meler.

Terima kasih Haru. Gara-gara anda, awal tahunku dibuka dengan flu.

Dan seperti beberapa hari terakhir, makhluk itu sudah menunggu di minimarket tempatku bekerja. Aku ingin menghajarnya tapi aku lelah.

"Pagi nona," lelaki itu sudah berdiri di depan meja kasir tepat didepanku.

"Hmm.." sahutku sambil memasukkan beberapa barang belanjaannya, "bukankah aku bilang aku akan memberikan jawabannya seminggu lagi, kenapa anda masih mengikutiku"

"Saya hanya kebetulan berbelanja,"

"Libur di hari senin?" Tanyaku.

Dia menggeleng, "tidak,"

"Ada projek di sekitar sini?"

"Tidak, saya hanya jalan-jalan," sahutnya sambil mengeluarkan beberapa lembar uang dan menyerahkannya padaku.

"Rumah anda bukan sekitar sini dan Artemis tempat anda bekerja ada di kota," aku menyerahkan uang kembalian, "menempuh hampir satu jam perjalanan hanya untuk membeli 2 botol air mineral, santai sekali hidup anda,"

"Ah.. akhirnya anda membaca kartu nama saya,"

"Melirik sebentar dan membuangnya," sahutku.

Aku mendengarnya tertawa pelan. Mungkin ini aneh, tapi aku mulai terbiasa dengan makhluk ini. Dan dia sudah bersahabat dengan paman pemilik minimarket, pasti dia sudah memberikan beberapa lembar uang pada paman jadi walaupun Haru seharian menggangguku bekerja, paman tidak akan mengusirnya. Bahkan kemarin beliau memberikan sebuah kursi di sampingku untukknya lalu mempersilahkan Haru duduk dan memberikan tambah beberapa camilan.

Lihatlah, ini adalah salah satu kekuatan uang yang sangat mengerikan.

"Sudah berapa wanita yang anda kejar seperti ini?"

"Anda orang pertama nona,"

"Diantara banyak wanita di bumi. Kenapa harus aku?"

"Tuan muda menyukai anda," Haru membuka botol air dan meminumnya.

"Walaupun anda memanggilnya dengan tambahan 'muda' bisa jadi bos anda sudah kakek-kakek, benarkan?" Salah satu pertanyaan yang mengganguku setiap malam hingga beberapa kali terbawa mimpi.

Mendengar pertanyaanku, lelaki itu tersedak air minumnya. Dan aku sedikit terhibur.

"Anda selalu blak-blakan ya," sahutnya.

"Aku hanya mengucapkan apa yang ada di pikiranku," sahutku santai.

"Usia tuan muda mungkin 3 tahun di atas anda," sahutnya di sela-sela batuk, "tahun ini anda berusia 21 kan?"

Aku menganguk. Dia tahu tempatku tinggal, tahu dimana saja aku bekerja jadi bukan hal yang mengagetkan jika dia tahu usiaku. Mungkin dia sekarang juga tahu berapa ukuran sepatuku.

"Bisakah anda menelponnya sekarang, aku ingin berbicara dengannya,"

"Maafkan saya, tapi Tuan muda tidak bisa menerima telepon,"

"Anda menyuruhku menikah dengan orang yang bahkan aku tidak tahu bentuk dan suaranya," aku menghela nafas panjang, "dia manusia kan?"

Dia tertawa, tapi kali ini terlihat benar-benar tertawa. Biasanya cara dia tertawa sangat aneh dan kaku seperti palsu, namun kali ini dia berbeda.

"Tentu saja manusia," sahutnya sambil tersenyum.

Dia melihat jam tangannya, lantas menambakan "alasan tuan muda menyukain anda karena anda orang baik," sahutnya santai, "baiklah, saya harus segera pergi," dia menunduk dan meletakkan tas kertas berwarna navy ukuran 30 x 20 di meja kasir, "tuan berharap, anda tidak membuangnya," tanpa menunggu jawabanku dia segera berjalan keluar minimarket.

Aku? Baik? Aku sampai kehilangan kata.

Aku memang bukan penjahat tapi aku cukup jauh untuk sebutan 'orang baik'. Aku egois, materialistis, tidak tahu malu, arogan, bahkan beberapa kali terlibat perkelahian. Aku bahkan bisa berkelahi hanya karena bosan dan menemukan manusia kurang ajar yang pantas untuk dihajar. Tapi tetap saja, aku jelas-jelas sangat jauh dari kata baik.

Aku mengintip isi di dalam tas, sepertinya sebuah pakaian berwarna abu-abu gelap. Karena penasaran, aku mencoba mengeluarkannya. Aku bukan tipe orang yang mudah membuang barang, kecuali barang itu berbahaya. Dan aku sekarang hanya ingin memastikan dia tidak memasukkan laba-laba hidup.

Lonceng pintu minimarket kembali berbunyi, membuatku memasukkan kembali isi tas. Dan yah... Tamu yang tidak terduga datang lagi.

Ngomong-ngomong sekarang hari apa, kenapa aura pagi ini sangat amat gelap. Aku fikir si manusia pencetak kartu nama itu sudah cukup menguras tenaga, tapi sekarang aku fikir Haru tidak terlalu buruk jika di bandingkan dengan sesuatu di depanku saat ini. Sesuatu yang horor sedang berdiri di pintu masuk.

Ibu pemilik apartement sedang melotot kearahku sambil meremas kipas lipat merah. Di lihat dari posisinya sekarang, kemungkinan terburuk adalah aku akan diusir dari apartement sedangkan kemungkinan terbaik adalah aku mendapatkan beberapa tusukan pundak oleh kipas mengerikan itu. Aku sudah hafal, karena itu adalah senjata andalan nyonya. Tidak sakit namun cukup menyebalkan.

"Kau kira bisa bersembunyi dari ku dasar bocah," dia menaikkan ujung bibir kirinya sambil mendengus, "ke lubang semut pun pasti akan ku kejar."

Bagaimana? Horor kan?

Aku rasa beliau terlalu sering melihat drama di televisi, dari caranya berbicara sudah seperti penjahat di sinetron. Lagian, aku punya tempat persembunyian paling aman dan meyakinkan daripada lubang semut. Gara-gara flu dan Haru, aku lupa jika ada beberapa orang yang harus aku hindari. Sudah berkali-kali nyonya ini ke sini tapi aku selalu lolos dan dapat bersembunyi darinya, entah itu mengunci pintu minimarket atau bersembunyi di toilet dan meminta tolong paman pemilik minimarket untuk sementara menggantikanku.

Paman walaupun agak ember, gila uang dan cerewet, namun dia sangat bisa diandalkan di saat seperti ini bahkan dia tidak marah saat aku mengunci minimarketnya dari dalam jika beberapa orang aneh datang mencariku. Yah, siapa lagi yang mau bekerja di tempat ini selain aku. Di hari pertama aku kerja disini, aku bertemu dengan pencopet dan aku membereskannya dengan satu atau dua tendangan. Dan sejak saat itu Paman mulai akrab denganku, walau dia tidak pernah menaikkan gaji namun aku boleh mengambil beberapa roti nanas setiap hari dan adakalanya beliau akan menggantikanku menjaga kasir. Namun hari ini Paman berlibur ke pantai dengan keluarganya dan mau tidak mau aku tidak bisa kabur kali ini.

Sebenarnya, tampilan antagonis Nyonya ini hanya pada bibir merah menyala, eyeshadow gelap yang membuat kedua matanya terlihat dua kali lebih besar dan kipas merah andalannya, lalu untuk bagian yang lainnya tidak seram. Jauh lebih seram paman preman dilantai bawah apartemenku. Bukannya menghina, tapi nyonya ini ukurannya lebih pendek dariku. Mungkin badanku sepuluh sentimeter lebih tinggi dari beliau. Kalau saja beliau tidak bawel dan baik hati, aku ingin sekali mengangkatnya. Kadang-kadang eyeshadow milik beliau mengingatkanku pada panda.

"Ada yang bisa saya bantu nyonya?" Tanyaku basa-basi.

Dia berjalan mendekati meja kasir dan berkacak pinggang, "Apakah aku terlihat seperti sedang mau berbelanja!" dia mengetuk meja dengan kipas, "uang sewa!"

***

Without WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang