BAB 5 Sarung Tangan Abu-abu

2 1 0
                                    

Tanganku selalu lebih cepat dari perkataanku.

Sudah hampir tiga minggu aku bekerja di cafe ini dan aku sudah bilang berulang kali, aku tidak perduli mereka berbicara apapun. Namun jangan pernah sekali-sekali menyentuh isi dalam lokerku. Tapi dua wanita ulat bulu itu mengambil tas ranselku, menumpahkan isinya, menggosok pintu dengan saputangan pemberian ibu, mematahkan pensil pemberian adikku. Jadi jangan salahkan jika aku mematahkan hidungnya.

Berterima kasihlah pada Tristan. Jika lelaki itu terlambat menarik tanganku, mungkin aku sudah membuat dua hidung mimisan.

"Aku pikir kau lebih baik pulang Athana," baru kali ini aku mendengar laki-laki itu menyebut namaku. Tristan adalah pegawai lain di cafe dan dari tiga perempuan, satu bocah labil, Tristan adalah orang yang paling waras di sini. Dia jarang berbicara namun aku tahu dia orang baik.

Aku meminta maaf ke beberapa tamu yang ada di cafe, lantas berjalan ke ruang ganti. Syukurlah karena musim hujan, beberapa hari ini cafe tidak begitu banyak pengunjung, jadi atraksiku tidak di tonton banyak orang. Padahal kurang empat hari lagi gajian dan aku memang tidak berniat berkerja lama di sini. Namun setelah apa yang aku lakukan, mungkin gajiku akan di potong lagi untuk perbaikan hidung Tia.

Aku cuma ingin membayar uang sewa apartemenku dengan tenang, kenapa masih ada saja gangguan yang datang.

Hujan sudah reda ketika aku berjalan menuju apartemen, walaupun kakiku dingin karena memakai sandal jepit tapi hoodie pemberian 'tuan muda' membuatku lebih hangat. Semoga saja sepatuku besok kering.

Namun ketika sampai di depan pintu apartemen, aku melihat gembok berwarna emas terpasang di sana dan ada stiker menempel di gagang pintu.

'apa yang terjadi nak? Kenapa si kipas merah mengunci pintumu? Aku sekeluarga harus pergi ke kota, malam ini tidurlah di tempat kami. Kunci apartemenku aku masukkan ke kotak suratmu,'

Paman Kim

Bisakah sehari saja aku hidup dengan santai?

Bukankah masih ada beberapa hari lagi, kenapa nyonya pemilik apartemen sudah memblokir pintuku?

Tulisan di stiker itu adalah tulisan paman preman. Paman Kim adalah nama asli paman preman Aku turun ke lantai satu dan mengambil kunci di kotak surat. Paman Kim sangat baik namun aku tidak enak jika harus merepotkannya dengan urusanku. Jadi aku masuk ke rumahnya hanya untuk meminjam peralatan berkemahnya, aku memutuskan tidur di balkon lantai 4. Ketika aku masuk ke apartemen paman Kim, aku melambaikan tangan yang memegang tas tenda ke arah cctv yang terletak di samping pintu masuk.

Aku bisa membayangkan wajah paman Kim yang sedang menggerutu ketika melihat rekaman cctv. Maaf paman...

Setelah memasukkan kunci ke kotak surat paman Kim, aku naik ke lantai 4. Ini sebenarnya bukan pertama kali aku berkemah di balkon, aku sudah beberapa kali meminjam tenda namun baru kali ini aku menggunakannya untuk menginap semalaman. Aku biasanya hanya sampai tengah malam dan kembali ke apartemen untuk tidur.

Balkon lantai 4 adalah tempat para penyewa apartemen untuk berkumpul. Sepertiga bagiannya di beri atap dan paman Kim memberi papan 3x4 meter setinggi 15 cm khusus untuk tempat duduk. Di sana tempat aku mendirikan tenda saat ini. Papan kayu membuat alasnya tidak terlalu dingin dan atapnya melindungi dari hujan deras. Dua atau tiga hari mungkin akan aman.

Angin malam membuatku segera masuk kedalam tenda dan meringkuk di samping barang-barang. Besok sapu tangan ini akan aku cuci di kamar mandi minimarket, pensil akan aku beri perekat sedangkan tas kertas pemberian 'tuan muda' sobek di ujung namun isinya masih aman. Ray memang sempat menyentuhnya tadi, namun ketika tangan Ray mencoba menyentuh kotak yang ada di dalam, tanganku lebih dulu mencengkram rambutnya.

Ketika aku membuka kotak di dalam tas itu, tertata rapi sepasang sepatu berwarna abu-abu tua. Sepasang sepatu yang sangat bagus dan nyaman. Tapi kenapa sepatu? Jangan bilang dia mengikutiku diam-diam lagi. Ada sebuah kertas di dalam kotak, tulisannya sama dengan tulisan sebelumnya di hadiah hoodie. Syukurlah, walau aku tidak punya handphone, tapi aku masih punya senter kecil yang selalu aku masukkan ke dalam tas. Jadi aku masih bisa membacanya, walau sedikit remang-remang.

'Aku berharap kamu tidak berlarian tanpa memakai sepatu lagi, cuaca semakin dingin.'


Nah kan! Dia mengikutiku diam-diam lagi! Dan kalau memang benar, kenapa dia tidak sekalian menunjukkan wujudnya?

Aku ingat, masih ada bungkusan lainnya yaitu kantong kertas putih yang ukurannya lauh lebih kecil. Setelah aku membolak-balik kantong kertas putih, aku menemukan beberapa tulisan tercetak di permukaannya. Ini sepaket obat dari apotek yang namanya cukup terkenal namun jaraknya sangat jauh dari sini. Diadalamnya ada dua jenis obat dan secarik kertas. Entah kenapa, aku mulai sedikit terhibur setiap membaca tulisannya.

'Jika aku berkata ini bukan obat berbahaya, mungkin kamu semakin tidak mau meminumnya. Tapi aku sangat berharap flu mu segera pergi'

Kemudian di pojok bawah terdapat tulisan lain lebih kecil dari yang di atas namun warna bolpoin yang lebih tebal.

'Aku tahu aku tidak pantas mengatakan ini karena aku juga orang yang masih asing, namun jangan pernah menerima obat dari orang asing lainnya'

Sepertinya tuan muda bingung bagaimana menyampaikan niat baiknya.

Tunggu, sepertinya di dalam kotak ini masih ada kejutan lain. Kotaknya masih terasa berat. Dan benar saja, setelah aku tumpahkan ada sepasang sarung tangan wol dan sepasang kaos kaki berwarna abu-abu.

Manusia ini...

Apa dia berencana ingin membuatku memiliki setelan abu-abu dari kepala hingga ujung kaki?

Makhluk yang bahkan tidak aku tahu wujudnya ini membuatku tersenyum setelah rentetan hal menyebalkan menerjangku seharian. Aku membolak-balik kedua pasang hadiah itu, berusaha melihat dimana sisi yang benar dengan cahaya senter yang redup. Kemudian setelah selesai mengenakan kaos kaki dan sarung tangan wol pemberiannya, aku menggosok-gosokkan tangan di ke dua pipiku.

Lembut dan hangat..

***

Aku berangkat 1 jam lebih awal ke minimarket, tentu saja setelah melipat tenda dan menyimpannya. Aku tidak ingin ambil resiko jika mendadak nyonya kipas naik ke lantai 4. Jika dia tahu aku kabur kelantai atas, dia pasti akan langsung menyita perlengkapan kaburku. Lalu aku harus tidur dimana?

Pagi ini masih turun hujan walau hanya gerimis tapi syukurlah gara-gara setelan abu-abu dan obat flu pemberiannya, aku bisa tidur nyenyak semalaman. Flu masih ada namun jauh lebih baik dari kemarin, sekarang walau tenggorokanku masih gatal tapi itu tidak masalah. Aku tidak pernah secepat ini sembuh dari flu. Mungkin nanti jika aku bertemu Haru, aku akan menuliskan surat terimakasih untuk tuannya.

Karena gerimis dan aku tidak punya payung, aku mengambil jalan memutar melewati taman bermain. Jalan di sana banyak ditanami pohon-pohon rindang di pinggiran, jadi lumayan bisa menghalangi gerimis. Bajuku hanya tersisa 2 dan dua-dua nya sedang aku pakai, mungkin aku harus mampir ke loundry koin untuk mencuci hoddie abu-abu ini nanti. Ketika aku sampai di belokan taman bermain, aku melihat seseorang yang tidak asing sedang duduk di ayunan.

Tanpa berfikir panjang, aku berlari ke arahnya. 

*** 

Without WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang