BAB 4 Akankah Lebih Hangat?

4 1 0
                                    

Hampir tengah malam saat aku berjalan menuju apartemen dengan telanjang kaki. Tas ransel hitam di punggung, tangan kanan memegang tas kertas pemberian Haru yang aku isi roti nanas dan tangan kiri menyincing sepatu. Gara-gara aku bersin di wajahnya, bocah itu menyiram sepatuku. Alhasil aku bertelanjang kaki dari cafe ke apartemen yang jaraknya hampir 2 km. Kata paman preman, memakai sepatu basah itu bisa cepat rusak. Entah itu benar atau tidak.

Setelah perjalanan yang cukup dingin, akhirnya aku sampai di depan pintu apartemen. Entahlah, ini bisa di bilang apartemen atau kamar kos. Ukurannya mungkin 4 x 3 dengan fasilitas kasur lipat dan kamar mandi, tidak ada meja dapur namun syukurlah ada washtafel. Setidaknya aku tidak harus mencuci piring di kamar mandi. Paman preman meminjamiku kompor portable tapi aku lebih memilih menyimpannya. Jujur saja, aku takut meledak.

Dan aku fikir hanya tempatku saja yang seperti ini, aku pernah berkunjung ke rumah paman preman dan beberapa tetangga di lantai 3. Tempat mereka luas dan lengkap, bahkan ada bonus pendingin ruangan. Mungkin tempatku sebelumnya adalah gudang atau sejenisnya. Tapi aku tidak terlalu perduli karena barangku hanya satu kerdus pakaian, satu kerdus kecil buku –percayalah walau tampangku tidak meyakinkan tapi aku suka membaca, sepasang sandal jepit dan sepasang sepatu.

Aku meletakkan tas kertas di samping tempat tidur dan mencincing sepatu basahku ke kamar mandi. Karena sudah basah, lebih baik aku cuci saja sekalian. Oh iya, sebelum aku mandi aku harus memutar dan memukul showernya dengan kayu penahan pintu agar tidak lepas. Kalau lepas, aku serasa mandi di pancuran taman kota.

Setelah mandi dan meletakkan sepatuku di balkon mini –luasnya 1,5 x 1 meter, aku merebahkan diri ke kasur lipat. Flu ku sepertinya tidak akan selesai dalam waktu dekat.

Aku melihat tas kertas pemberian Haru, mengumpulkan niat untuk bangun dan meraihnya. Berjalan sempoyongan ke arah pintu balkon. Aku harus mencari tempat duduk untuk makan, karena walau bagaimanapun aku bukan tipe yang akan makan dengan rebahan di atas kasur. Di gigit semut ketika tidur itu sangat menyebalkan, jadi aku turun dari kasur dan duduk di samping pintu balkon yang sedikit terbuka.

Aku balik tas kertas, 3 roti nanas jatuh disusul sesuatu yang merupakan pemberian "tuan muda".

Kata-kata itu makin bersahabat, semua gara-gara Haru yang terlalu sering mengoceh "tuan muda". Dia memberiku hoddie berwarna abu-abu gelap, ketika aku mengangkatnya, selembar kertas jatuh.

'Cuaca mulai dingin, pakailah baju yang lebih tebal'

Kemudian tertulis agak kecil di bagian bawah,

'jika kamu tidak menyukainya, aku harap kamu tidak membuangnya'

Karena tidak ada embel-embel "nona" aku pikir ini adalah tulisan si tuan muda. Setidaknya aku tahu tulisan orang yang mengajakku menikah.

Menikah?

8 tahun aku terbiasa hidup sendirian dan tiba-tiba ada tawaran seperti itu. Aku bahkan tidak bisa membayangkan berada dalam satu ruangan yang sama dengan orang lain dalam semalam.

Aku menutup pintu balkon karena hujan mulai turun dan angin membuatnya semakin dingin.

Tiba-tiba pikiran aneh berkelebat dalam kepalaku, "jika aku menikah, apa malam ku akan sedikit lebih hangat?"

Aku memukul dahiku keras.

Aku rasa flu membuat pikiranku sedikit sinting!

***

"Pagi nona.." si permen karet Haru sudah duduk di kursi teras minimarket. Sekarang masih jam 7 pagi, senggang sekali hidup lelaki ini.

Dia membantuku membuka pintu minimarket sambil terus mengoceh tentang cuaca dan aku hanya membalasnya dengan "hmm" berkali-kali.

Without WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang