Adik laki-laki pertamaku, Rion.
Bocah itu duduk sendirian di ayunan tanpa menghiraukan dirinya yang terkena hujan.
Aku membungkuk, memayunginya dengan ranselku, "Hei... Bagaimana kalau kita duduk di pondok," dia mendongak, menatap ke mataku dan dengan cepat menarik diri.
"Maaf anda siapa?" Ekspresinya dingin.
Ah, aku lupa.. aku masih mengenakan masker. Tapi dia benar-benar versi aku jika menjadi lelaki, cara dia menatap orang asing sangat mengintimidasi.
"Kakak kantin," sahutku sambil menurunkan masker.
Dia membulatkan kedua matanya lantas tersenyum lebar, "Kak Athana!"
Rion berdiri dan langsung menggandeng tanganku, berjalan menuju bangunan bundar berdiameter 4 meter yang atapnya berbentuk menyerupai jamur. Ada dua kursi panjang di dalamnya, ini tempat ibu-ibu bergosip sambil menemani anak mereka bermain.
"Kakak jangan hujan-hujanan, nanti sakit." Lihatlah... Bukankah beberapa menit yang lalu dia juga sedang hujan-hujanan. Sekarang malah mengkhawatirkanku.
"Tunggu," Kami berdua sudah duduk dan aku segera membuka tas ranselku. Mengambil handuk dan mengeringkan rambutnya dan bocah tampan itu hanya diam, "Lain kali jangan lupakan topimu jika ingin lari pagi," Aku tahu dia tidak sedang lari pagi, aku tadi sempat melihat kedua matanya yang sembab. Siapa yang berani-beraninya membuat adikku menangis.
"Terima kasih kak," Jawabnya lirih sambil menunduk.
Aku duduk di depannya sambil bersila, "Kemarin aku mencarimu, menu kantin kemarin ayam goreng dan aku sudah menyiapkan tiga banana milk khusus untuk mu."
Dia tersenyum, namun masih menunduk. Apa yang sedang terjadi? Aku ingin bertanya, namun itu terdengar kurang sopan. Apalagi saat ini, dia hanya mengenalku sebagai kakak penjaga kantin bukan kakak perempuannya.
"Aku akan ke sekolahmu lagi nanti siang, menunya karage kesukaanmu dan akan aku tambahkan satu lagi banana milk,"
"Aku tidak akan pergi ke sekolah," sahutnya pelan.
Aku menyentuh dahinya,tidak panas namun aku khawatir.
"Pulanglah Rion, Istirahatlah..." Aku melihat jam, lantas berdiri. Mungkin toko buku sebelah taman sudah buka, aku akan meminjamkan payung untuknya, "Kalau hari ini kamu tidak ke sekolah, maka besok saja aku ke sekolahmu, kita bertemu di kantin."
"Aku tidak akan ke sekolah lagi kak," dia masih menunduk, "tidak akan pernah lagi..." tambahnya.
Aku yang semula sudah berdiri, kembali duduk.
"Apa yang terjadi? Apa ada yang membully mu?"
Dia menggelengkan kepala. Aku terdiam, sejenak mengamati gerimis. Aku sangat handal dalam berkelahi namun aku tidak pernah tahu caranya membujuk orang lain apalagi anak seumuran Rion. Aku takut salah memilih kalimat yang membuatnya tersinggung dan membenciku.
Aku mendengar dia menarik nafas panjang dan berkata, "Aku tidak sengaja mendengar pembicaraan ayah dan ibu kak, " dia mendongak, melihat tetesan air hujan, "Jika aku tetap bersekolah, maka adik kedua ku tidak bisa mendaftar sekolah tahun ini, padahal dia sudah melingkari tanggal kapan dia akan masuk sekolah dan tanpa henti menghitungnya"
"Masalah uang pendaftaran?" tanyaku pelan.
Dan dia mengangguk.
"Aku akan berhenti sekolah dan mencari kerja kak," ucapnya pelan.
Aku terkejut, menyentuh kedua pundak Rion, "Kamu tidak boleh berhenti sekolah, adikmu juga pasti akan masuk sekolah tahun ini,"
"Tapi..."
Aku menggelengkan kepala, "Sekarang kamu pulang ke rumah dan istirahat. Kakak berjanji, semua akan baik-baik saja,"
Rion, adik kecilku yang baru berusia 13 tahun dipaksa dewasa oleh keadaan. Dan yang aku tahu, dia sangat senang bersekolah, dia sangat pintar dan memiliki cita-cita besar. Lalu mendadak dia berfikir untuk bekerja karena tidak sanggup membayar biaya sekolah dan tidak ingin adik kecilnya putus sekolah. Dia masih sangat kecil untuk menyerah dan mengorbankan mimpinya gara-gara uang. Hal itu membuat dadaku sedikit sesak dalam sesaat.
Cukup aku saja yang harus berhenti sekolah, aku tidak ingin adik-adikku menjadi sama sepertiku. Mereka masih sangat kecil untuk masuk ke tempat sepertiku sekarang. Aku ingin mereka bahagia dan bebas memilih apa yang mereka cita-citakan walau sebagai gantinya aku harus melakukan apapun yang aku bisa.
***
Baru kali ini aku sangat berharap lelaki itu ada di sana.
Dan syukurlah, Haru benar-benar sudah duduk santai di teras minimarket sambil membaca koran. Ketika dia mendengar langkah kakiku, lelaki itu menoleh dan tersenyum.
Aku mendekatinya dan berkata, "Haru, telpon dia sekarang,"
"Maksud anda tuan muda?"
"Cepat sebelum aku berubah pikiran,"
Tapi bukannya mengambil handphone nya, dia malah melihat ke arahku, "Jika anda ingin memakinya karena hadiah kemarin, saya mohon jangan sekarang, keadaannya sedang kurang baik,"
"Tidak.. Aku tidak ingin memakinya,"
Haru mengambil handphone di dalam sakunya, "Tapi tuan mungkin tidak bisa berbicara dengan anda,"
"Dia tidak mau berbicara denganku?"
Dia menggelengkan kepala, terlihat bingung, "Dia sangat ingin berbicara dengan anda, tapi dia tidak bisa membalas percakapannya,"
Apa dia sakit tenggorokan? Batuk?
"Dia mau mendengarkan aku kan?"
"Tentu saja nona, tuan akan sangat senang"
"Baiklah," aku duduk dikursi menghadap ke arah Haru, kami di pisahkan oleh satu meja bundar, "Hubungi dia sekarang. Dia hanya perlu mendengarkan dan aku tidak memaksanya untuk menjawab,"
Lelaki itu kembali manatapku, "Anda yakin tidak akan memakinya kan?"
Aku mengacungkan ketiga jariku ke udara, "Janji," aku tidak bisa menyalahkan Haru, mungkin saat ini ekspresiku terlihat cukup menakutkan, "Cepatlah..! Sebelum aku berubah pikiran,"
Haru menekan handphone nya dan menyerahkan padaku. Aku menerimanya dan tanpa sengaja melihat nama yang tertulis disana, "Si Sinting yg Gila Kerja"
"Ini benar nomer tuan mu kan?"
Haru menatapku dan berpindah menatap handphonenya lantas segera paham apa yang aku maksud, "Iya, itu nomernya, untuk nama... ceritanya sedikit rumit,"
Aku hanya mengangguk, walaupun aku penasaran tapi aku hanya akan menyimpannya untuk lain waktu. Masih banyak waktu untuk cerita rumit yang sepertinya cukup menarik.
Nada 'tuut.. tuut...' yang berulang masih terus berbunyi dan semakin lama semakin membuat detak jantungku berdebar semakin cepat. Aku tidak pernah merasakan perasaan seperti ini. Apa ini perasaan takut? Bimbang? Bingung? atau ragu, aku tidak tahu pasti.
Ketika aku berniat hampir menyerah dan memberikan handphone ke Haru -karena sepertinya kewarasanku mulai kembali, namun tiba-tiba nada menyambungkan berhenti. Aku melihat layar handphone dan benar, dia sudah mengangkat telpon nya.
"Halo"
Benar-benar tidak ada suara, tapi entah kenapa aku tahu kalau di sebrang sana ada seseorang yang sedang menungguku berbicara.
"Ini Aku, Athana," aku memberi jeda, "Sebelumnya, terimakasih untuk hadiahnya." Aku benar-benar tidak pandai berbasa-basi dengan orang baru.
"Aku tahu anda sedang tidak bisa menerima panggilan, tapi aku hanya ingin mengatakannya sekarang," aku menarik nafas panjang sedangkan di seberang masih tidak terdengar sahutan, lalu aku melanjutkan berbicara, "Ayo menikah,"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Without Words
RomanceAthana, gadis yang sudah menghabiskan 8 tahun hidup terpisah dengan keluarganya. Dia bekerja keras untuk menghidupi dirinya sejak lulus SMP. Menjaga minimarket, pengantar koran, pelayan cafe, penyebar selebaran bahkan supir pengganti. Sifatnya blak...