CHAPTER 41

6.5K 470 8
                                    

Aku sedang menunggu di ruang tunggu bersama Pak Haji Rosadi. Jantungku berdebar-debar aku sangat mengkhawatirkan keadaan Ibu sekarang.
“Pak, apakah Ibu sudah gila?” bisikku pada Pak Haji Rosadi.

“Secara penglihatan Bapak, Ibumu sedikit ada sesuatu yang aneh di dalam tubuh Ibumu. Mungkin hal ini bisa membuat Ibumu gila,” jawabnya dengan nada prihatin. “Dan menurut Bapak, para dokter tidak akan bisa menyembuhkan Ibumu.”

“Kenapa begitu, Pak? Maksud Bapak, Ibu akan terus seperti ini?”

Sebelum Pak Haji menjawab pertanyaanku ini, tiba-tiba petugas yang menangani Ibu datang dan memotong pembicaraan kami.

“Dek, Ibumu akan ditahan karena memang sudah terbukti menjadi tersangka pembunuhan bapakmu,” ucap salah satu pihak penyelidik.

“Ditahan? Dipenjara? Mana bisa, Pak?! Ibu tengah sakit dan Bapak tidak bisa menahannya seperti ini!” Aku setengah merintih memohon agar Ibu tak ditahan.

“Tidak bisa, ini sudah menjadi sanksi untuk Ibumu.”

Pak Haji Rosadi mengelus pelan punggungku, mataku berkaca-kaca menatap Pak Haji Rosadi.
“Pak, Ibu jahat sekali?!” bisikku pada telinganya.
“Sstt.”

“Nanti kamu tinggal dengan Bapak saja untuk sementara waktu,” ucapnya padaku.

Aku hanya mengangguk lalu pergi menjenguk Ibu yang masih berbaring di ruangan.

***

“Bu, Adrian pulang dulu, ya,” ucapku lirih. Namun, ia masih bisa mendengar ucapanku.

“Mau ke mana? Ibu sendirian? Ibu tidak mau!”
Ibu yang sebelumnya tampak tenang seketika memberontak dan menarik tanganku.

“Bu, sudah jangan kasar seperti itu. Ibu perlu dirawat dulu sampai pulih dan baru bisa ditahan,” ucap salah satu suster yang menjaga Ibu.

“Nak, cepat pergi saja! Saya pikir Ibumu sudah tak bisa bertahan lama lagi,” imbuhnya lagi.

Tak berpikir lama, aku lantas meninggalkan tempat ini bersama Pak Haji Rosadi.

Namun aku masih sangat bingung dengan perkataan suster lagi, apa mungkin Ibu akan meninggal dalam waktu dekat ini?

***

“Minum tehnya, Nak,” kata istri dari Pak Haji Rosadi.

Aku mengangguk lalu meminumnya perlahan.

“Kamu tidur di sini dulu, ya. Besok baru kita jenguk ibumu lagi,” ucap Pak Haji Rosadi yang tengah mengenakan sarung kotak-kotak warna coklat.

“Iya, Pak,” jawabku sedikit lesu.

“Jadi, sekarang kamu sudah tahu, kan, siapa dalang sebenarnya?”

Pembicaraan semakin serius. Aku yakin Pak Haji Rosadi akan membahas tentang pesugihan Ibu.

“Iya, Pak. Ini berawal dari Bu Puji. Aku tahu dia pergi menghilang agar tak menjadi sasaran kalau memang pesugihannya sudah terbongkar,” timpalku.

“Nah, itu, sayangnya ibumu memang bodoh!”

“Harusnya dia tak membunuh bapakmu dan menjadi tumbal juga.”

Aku menatap Pak Haji bingung, tak mengerti mengapa Pak Haji berkata demikian.

“Maksud Bapak bagaimana?”

“Semenjak bapakmu meninggal, jin yang bekerja sama dengan ibumu selalu menginginkan berhubungan badan. Namun, ibumu selalu menolak!”

Mataku mendelik mendengar ungkapan dari Pak Haji Rosadi.

“Dia sudah diiming-imingi uang dan perhiasan yang banyak setelah menumbalkan nyawa bapakmu.”

“Dan akhirnya jin ini bisa dengan bebas meminta berhubungan badan dengan ibumu,” ungkapnya dengan tampak serius.

“Bapak yakin?”

“Apakah ada raut wajah berbohong atau tidak yakin di wajah Bapak?” Ia menunjukan diri bahwa tak ada kebohongan di perkataannya tadi.
Aku menelan ludah perlahan.

“Karena jin ini sudah murka, dia mungkin bisa tega mengambil nyawa ibumu sesuka hati.”

“Tapi, Pak ....”

“Ada apa lagi?”

“Mengapa jin itu tidak menyerangku? Harusnya semua terlibat, Pak,” tanyaku dengan amat serius.

“Tidak semua manusia bisa digoda oleh bangsa jin ini, kamu termasuk manusia istimewa maka bersyukurlah!”

Aku mengembuskan napas pelan, dengan rasa terkejut mendengar perkataan beliau.

“Intinya, ibumu tak bisa bertahan lama lagi.”

“Bapak tahu tidak, keberadaan Bu Puji?”

Ia menggeleng. “Tidak tahu, kemungkinan dia masih menjalankan ritual ini, karena kekuatan dia memang sudah cukup kuat.”

Tiba-tiba terdengar ketukan pintu.

“Pak ada tamu!” ucapku.

“Jangan!”

“Jangan dIbuka, dia bukan manusia!”

Seketika, aku terdiam tak berkata apa pun, sebelum Pak Haji Rosadi memulai pembicaraan.
Tampaknya pembicaraan tadi mengundang hal aneh, sehingga hawa menjadi tak nyaman dan sedikit dingin.

“Dia tidak nyaman dengan obrolan kita tadi. Tapi, tidak apa-apa dia tidak akan menyerang.”

Aku baru mengingat, rumah Pak Haji Rosadi berdekatan dengan rumah lamaku, kemungkinan jin ini bersemayam di sana.

“Kita lanjut saja pembicaraan tadi.”

“Tapi, Pak ....”

“Sudah, tidak apa-apa, dia hanya mengganggu, tak akan menyerang kita.”

Aku hanya bisa mengangguk.

“Asih di mana?”

Asih? Dia adikku, tumbal pertama Ibu.

“Asih? Asih dibuang, Pak,” jawabku lirih.

“Dibuang di sungai besar di kaki hutan seberang sana?”

Aku hanya mengangguk walaupun tak tahu menahu tentang sungai itu.

“Ibu juga mengubur Asih dengan tak wajar, Pak,” ungkapku.

“Mengubur di mana?”

“Di halaman belakang rumah, Pak. Sampai bau busuk selalu menusuk hidungku.”

“Ini sudah kejam Adrian! Kenapa kamu tidak memberi tahu Bapak dari dulu?” timpalnya.
“Adrian takut, Pak. Ibu selalu kasar.”

Ia mengembuskan napas pelan dengan menepuk pundakku.

“Kita tinggal menghitung hari, dan Ibumu akan binasa!”

FAMILY IN DANGER ( LENGKAP )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang