CHAPTER 42

7.2K 492 1
                                    

“Adrian, ayo bangun. Bapak dapat telepon kalau ibumu kritis, detak jantungnya tak bisa ditemukan!”

Aku tersentak! Mataku berusaha kubuka.

“Ada apa, Pak? Ini masih pagi sekali,” ucapku dengan menguap.

“Ibumu! Kita pergi sekarang ayo cepat!” Pak Haji manarik paksa tanganku.

“Bentar Pak, aku cuci muka dulu!”

***

Suasana di rumah sakit yang menangani Ibu, ternyata telah pindah rumah sakit.

“Pak, Ibu kenapa?” tanyaku dengan amat penasaran.

“Bapak ditelepon dari pihak rumah sakit, kalau detak jantung ibumu tak ditemukan. Makanya, Bapak buru-buru bawa kamu,” ungkapnya.

Tampaknya Pak Haji Rosadi sangat takut sekali, jika aku tak bisa melihat Ibu untuk terakhir kalinya.

Kami terus menunggu dokter yang sedang menangani Ibu, tetapi ini sudah menjelang siang harusnya ada pemberitahuan dari pihak rumah sakit.

“Pak, ini sudah siang, mengapa mereka terus menangani Ibu? Harusnya salah satu dari mereka memberitahuku di luar.”

“Sabar dulu.”

Aku mengembuskan napas kasar. Namun, dari seberang tampak seorang wanita berbaju serba hitam dengan hijab panjang yang mengingat lehernya, tetapi dibarengi dengan rombongan lainnya juga berbaju hitam pula, tapi di antara mereka semua berjenis kelamin pria.

“Pak, mereka siapa?” Aku menoleh persis ke arah Pak Haji Rosadi, tetapi mereka tampak terus berjalan menghampiri kami.

“Kamu melihatnya? Mereka sekte yang telah membantu ibumu dalam kasus pesugihannya dan merekalah yang mengetuk pintu semalam. Jangan terus menatap mereka, mereka hanya ingin melihat ibumu saja.”

Aku merasa takut, tetapi raut wajah mereka memang sangat dingin. Dan ada satu wajah yang tak asing bagiku.

Ya, Bu Puji ada di antara mereka.

“Pak, itu Bu Puji.” Tak sengaja kuacungkan jari telunjukku.

“Jangan menunjuk seperti itu, itu artinya Puji memang sudah masuk dalam sekte itu,” ucap Pak Haji Rosadi.

“Pak, mereka melihat kita?” bisikku padanya.

Ia mengangguk. “Iya, tetapi mereka hanya terfokus pada ibumu saja.”

Jantungku tak karuan sekali, semenjak sekte ini terus berdiri di depan pintu ruangan Ibu.

“Kapan mereka akan pergi, Pak? Aku tidak nyaman,” bisikku lagi.

Berkali-kali aku menelan ludah dengan kasar, rasanya haus sekali dan panas.

“Panas, Pak!” bisikku kembali.

“Tahan dulu, mereka akan pergi sebentar lagi,” timpalnya.

“Kamu anak dari Ibu Sania?” Dokter perempuan dengan hijab putih membalut rambutnya.

FAMILY IN DANGER ( LENGKAP )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang