6. Kabur

438 73 10
                                    

Keesokan paginya, Aldev dibuat tak berkutik karena begitu sampai di meja makan, Lila sudah ada di sana. Wanita itu terlihat berkali lipat lebih memesona dibanding semalam. Dia sedang membantu bundanya menyiapkan meja makan. Gerakan tubuhnya begitu luwes dan anggun.

Aldev terpaku di tempatnya berdiri dengan tatapan terus tertuju ke arah Lila. Mulutnya sedikit terbuka karena terlalu terpana pada wanita yang saat itu mengenakan salah satu dress milik bundanya. Dress itu sangat pas di tubuh Lila. Tidak, sebetulnya jika wanita itu tidak sedang hamil pasti dress itu kebesaran, tetapi karena perutnya sudah mulai besar, dress itu terlihat sangat pas dan pantas di tubuhnya.

Dress itu bermotif bunga kecil-kecil dengan potongan yang sopan. Sama sekali tidak menampakkan kesan erotis atau sexi, tetapi entah mengapa melihat Lila dalam balutan dress itu membuat Aldev harus menjilat bibirnya sendiri. Ada dorongan primitif dalam dirinya yang muncul, ingin mengungkap apa yang ada di dalam dress itu.

"Jangan ngalangin jalan!"

Sebuah pukulan keras belakang kepala menyadarkan Aldev dari lamunan tak senonoh tentang Lila. Sungguh, itu pertama kali terjadi dalam hidupnya. Selama ini, meski seringkali bertemu, bahkan berinteraksi dengan banyak wanita yang jauh lebih montok dengan pakaian terbuka mengundang, ia tidak pernah mempunyai keinginan atau mendekati hal itu saja tidak.

"Apa, sih, Ayah?!" Aldev mengusap kepala belakangnya yang terasa berdenyut nyeri. "Baru juga di sini."

"Woi, Ayah sudah menunggu lebih dari sepuluh menit di belakang situ."

"Apa?!" Aldev membelalak dengan wajah memerah mendengar jawaban ayahnya. Namun, setelahnya ia tak sempat menuntut jawaban sang ayah karena kedatangan adik-adiknya.

"Pagi, Kak." Sapa ketiga adiknya, Alden, Aaro, dan Alea bergantian.

"Pagi," jawabnya kaku.

Mereka bertiga tidak menyadari kehadiran Lila dan langsung duduk di meja makan diikuti oleh sang ayah dan juga Aldev. Dan seperti kebiasaan di keluarga itu setiap harinya, sambil menunggu semua makanan siap disajikan, mereka mengobrol dan bercanda, kecuali Alea. Gadis itu wajib membantu bundanya menyajikan makanan dari dapur ke meja makan.

Awalnya, aturan itu membuat Alea protes, tetapi setelah terbiasa, dia melakukannya dengan senang hati. Seperti pagi itu, Alea mambantu menata meja makan sembari bersiul senang.

"Menu apa, Lee?" Aaro bertanya penasaran.

"Menu baru. Khusus dimasak oleh tamu istimewa kita." Alea melirik sang kakak, Aldev, sembari mengedipkan sebelah matanya.

"Menu baru?" Alden yang tak pernah rewel soal makanan akhirnya ikut nimbrung dan mengamati meja makan. Dahinya mengernyit melihat kacang tanah goreng dalam toples kaca yang sudah dibuka tutupnya, bawang goreng, keripik kentang, potongan daun bawang, dan sambal kecap. "Sarapannya kayak gini doang?"

Alea terbahak. "Itu cuma konsumennya, Kak."

Alden sudah berniat kembali bertanya, tetapi urung ketika minat seorang wanita muda masuk ke dalam ruang makan sambil membawa toples bening besar berisi kerupuk. Di belakang wanita itu, bundanya membawa panci stainless dengan asap yang masih mengepul.

"Sia-"

"Dia pembantu baru?" Aaro yang terbiasa ceplas-ceplos dan kurang tahu aturan bertanya dengan suara keras dan langsung mendapat tendangan di kaki dari Aldev.

"Jaga mulutmu!"

"Lha, kan cuma nanya?" Mata Aaro sedikit berair menahan sakit di mata kakinya. "Nggak usah nendang sekeras itu juga keles."

Alea mengikik keras. "Bukan, Kak. Itu namanya Kak Lila, tamunya Kak Dev."

"Oohhh!!!" Aaro dan Alden akhirnya ber-oohh ria sambil bertukar pandang.

Sandaran HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang