20. Jebakan

587 73 16
                                    

Perkembangan kesehatan ibunya berkembang pesat. Gula darah yang sebelumnya melonjak mencapai angka seribu mulai turun meski masih berada di angkat empat ratus. Selain berupaya menurunkan gula darah yang jauh di atas normal, dokter juga berupaya mencegah supaya komplikasi akibat penyakit itu tidak semakin parah.

Kabar itu sudah cukup membuat Lila bahagia. Sudah terlalu lama ibunya kehilangan kesadaran akibat Ketoasidosis Diabetik. Namun, ia masih menaruh harapan bahwa ibunya bisa kembali sehat seperti sedia kala.

Alden masuk ruangan. Itu tidak mengejutkan Lila karena sudah menjadi seperti rutinitas harian bahwa lelaki itu akan pergi dini hari untuk pulang dan kembali lagi paginya. Dia jarang meninggalkan kamar perawatan ibunya kecuali untuk urusan pekerjaan yang sangat mendesak atau pulang sejenak hanya agar orang tuanya tidak khawatir.

Lila tersenyum menyambutnya. Pagi ini, lelaki itu mengenakan celana berwarna khaki dengan kemeja putih bersih lengan panjang yang lengannya dilipat sampai siku. Rambutnya terlihat setengah basah dan berantakan seperti tidak disisir atau mungkin hanya disugar dengan jari. Yang membuat jantung Lila jumpalitan adalah senyum Aldev yang memesona.

Lelaki itu berderai cepat melintasi ruangan dan langsung menghampirinya. "Semua oke?"

"Ya," jawab Lila sambil menahan napas saat pria itu menunduk untuk mencium dan mengusap perutnya yang besar.

Seperti biasa merasakan kehadiran dan perhatian Aldev, bayinya menendang. "Ouh."

"Kenapa?" Aldev langsung berjongkok di hadapannya dengan sorot khawatir.

"Tidak. Dia hanya sedang menendang."

"Ahh. Calon jagoan sudah pintar menendang rupanya." Aldev mengusap perut Lila dengan rasa sayang sekaligus ingin melindungi. Lalu, ia merasakan itu-tendangan sang bayi. Ia mendongak, menatap Lila dengan sorot takjub. "Dia menendang lagi?"

Lila mengangguk. "Sepertinya dia mengenali kamu karena dia selalu bereaksi seperti itu."

Aldev terpaku, setengah tak percaya bercampur haru mendengar itu. Itu memang bukan darah dagingnya, tapi sejak mencintai ibunya, ia merasa bahwa bayi itu termasuk miliknya. Ia menyayanginya juga. "A-apakah terasa sakit?" Ia bertanya sedikit gagap.

"Tidak. Sedikit aneh, tapi tidak sakit."

Kemudian, Aldev kembali mendekatnya mulut ke perut Lila dan mengecupnya. "Ssst," bisiknya pada sang bayi. "Jangan terus menendang. Ayah khawatir ibumu kesakitan, tapi Ayah janji, kelak kalau kita bermain bola bersama, kau bisa menendang bola sepuasmu."

"Dev!" Lila merasa risih dan tak enak hati dengan sebutan yang Aldev kenalkan pada bayinya.

"Ya?" Aldev tersenyum ke arah Lila dengan tangan masih mengusap perutnya untuk menenangkan sang bayi.

"Jangan begitu," ujar Lila dengan suara tercekat.

"Apanya?"

"Kamu bukan ayahnya. Jadi-"

"Jangan berbicara terlalu keras, dia bisa mendengar," tegur Aldev lembut. Ia memindahkan tangannya dari perut Lila untuk menggenggam tangan wanita itu. "Kau lebih suka dia tak memiliki seorang ayah?"

"Bukan begitu ... Maksudku ...."

"Cepat atau lambat aku akan jadi ayahnya." Aldev berbicara lambat dan penuh penekanan. "Jangan renggut kebahagiaan itu darinya. Apakah belum cukup dia tidak diakui ayah kandungnya sendiri?"

"Aku ... Aku ...." Lila tak bisa berkata-kata karena semburan tangis sudah mencapai penggorokannya. Ia berusaha menahan meski matanya berkaca-kaca.

"Kumohon, ini terakhir kalinya kita bahas ini. Dia akan lahir dengan seorang ayah yang sangat menantikan dan merindukannya. Dan aku ayahnya. Siapa pun akan tahu bahwa hanya akulah ayahnya."

Sandaran HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang