9. Penawaran

371 65 8
                                    

"Apa ada serangga lagi?"

Pertanyaan itu membuatku berhenti seketika. Sial! Kenapa Lila harus mengungkit soal serangga, padahal aku sudah hampir menciumnya?

Dengan berat hati aku menjauhkan diri dari tubuh hangat Lila. "Setelah saudara kembarku kembali kemari, tugasmu selesai," ujarku untuk mengalihkan perhatiannya.

"Baik."

Hanya jawaban singkat itu yang dia berikan, membuatku menoleh dan mengamati ekspresi wajahnya. Ada seraut kesedihan di sana. "Jangan khawatir. Kau tetap bisa bekerja di apartemenku."

Lila mengangguk pelan dengan tatapan lurus ke depan. Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran wanita itu. Apakah dia sedang memikirkan suaminya?

Hah! Jangan sampai dia masih mengingat bajingan itu atau aku akan membuatnya hilang ingatan sekalian.

"Apa saja yang harus dikerjakan di sana nanti?" Dia tiba-tiba bertanya, tetapi masih tidak membalas tatapanku, membuat tanganku gatal ingin meraih tengkuknya dan memaksanya menatapku.

"Hanya menjaga tempat itu. Kadang, ketika aku pulang kerja terlalu malam, aku menginap di sana. Dan seringkali aku selalu pulang dalam keadaan lapar. Mungkin, kau bisa membuat banyak persediaan makanan kalau aku sewaktu-waktu datang dalam kondisi lapar."

"Hanya itu?" Lila akhirnya menoleh, menatapnya dengan matanya yang melebar. "Bersih-bersih, mencuci baju, atau yang lain?"

"Tidak." Aku menggeleng. "Apartemen di sana sudah menyediakan jasa untuk itu, tapi sayangnya mereka tidak sekalian menyediakan chef atau tukang masak." Aku mengangkat kedua bahuku dengan gaya tak peduli. Yah, semoga Lila percaya dengan kebohonganku itu. Dan aku harus ingat untuk menekankan kepada asisten rumah tangga yang ada di sana agar sesedikit mungkin berkomunikasi dengan Lila dan tutup mulut rapat-rapat. Ahh, sekalian saja aku katakan kalau sampai mereka berbicara sepatah kata saja pada Lila, maka aku akan menggorok leher mereka.

"Jadi, hanya menunggu tempat itu dan memasak?"

"Yup." Aku memicing ke arahnya. "Kau bisa masak, kan?"

"Tidak jago, tapi bisa."

"Itu cukup, setidaknya jangan meracuni aku dengan makanan yang keasinan atau kurang matang."

"Tidak." Lila tertawa renyah. "Tentu saja tidak."

Aku terpukau mendengar suara tawanya yang merdu. Ya Tuhan! Mengapa aku bertemu dengannya sekarang? Kenapa tidak jauh sebelumnya hingga aku bisa mencegahnya menikah dengan bajingan itu?

"Kapan kita kembali ke daratan?" Dia bertanya setelah puas tertawa.

"Besok pagi. Semoga saja Helly Stone sedang tidak bertugas."

"Helly Stone?"

"Ya. Aku tak pandai mengendarai kapal motor sendiri. Lagipula itu memakan waktu terlalu lama. Jadi, nanti aku akan memastikan Helly Stone untuk besok pagi."

Aku lihat Lila mengangguk tanpa bertanya lagi apa itu Helly Stone. Padahal, aku berharap dia bertanya supaya aku tidak perlu mencari topik pembicaraan yang lain. Rasanya aku belum rela untuk mengakhiri percakapan dengannya malam ini. Ohh, entahlah, mengapa rasanya aku ingin berdua dengannya.

Selama beberapa hari berapa di pulau, aku sudah terbiasa dengan kehadiran Lila di depan mataku. Ketika dia pergi ke kamar mandi saja, aku sudah gelisah menanti kapan dia kembali. Ini gila dan konyol, tapi inilah yang aku rasakan.

"Kau masih sering memikirkan suamimu?"

Alamak! Kenapa aku harus menanyakan soal bajingan itu?! Tapi pertanyaan itu tiba-tiba saja muncul di kepala dan langsung terlontar tanpa bisa kutahan lagi. Jujur, aku penasaran tentang itu.

Sandaran HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang