7. Terbakar

406 75 10
                                    

Sejujurnya aku tak terlalu menyukai tugas ini, menggantikan saudara kembarku menjaga istrinya, tetapi demi persaudaraan kami, yah, aku harus melakukannya.

Angin laut berembus kencang, membuat rambut Lila yang tidak diikat beterbangan. Aku sedikit geli melihat dia sibuk menahan rambut agar tidak menampar-nampar wajahnya. Itu lucu sekaligus menggemaskan. Namun, ada satu hal yang sedikit menganggu pikiranku. Dia terlihat pucat. Aku tidak tahu apakah itu karena angin laut atau hal lain.

Ohh, aku yakin pagi tadi dia tidak sarapan dengan benar. Saat keluarga kami sarapan, dia justru pergi kembali ke dapur dengan alasan sudah kenyang. Nah, sekarang dia terlihat pucat.

"Kau tidak sarapan, kan, tadi?" Aku menggeser dudukku agar lebih dekat ke Lila. Hal itu mengundang pelototan tajam dari kakak iparku. Yah, aku maklum, dia pasti mengira aku adalah suaminya.

"Sudah." Lila menjawab kalem seolah tak terprovokasi oleh nada sinis dalam suaraku."

"Kalau sudah tak mungkin wajahmu sepucat mayat begitu."

Dia terlihat mendesah pelan dengan kedua bahu turun, membuat tulang belikatnya makin menonjol. "Saya tak pernah bisa makan di pagi hari."

"Kenapa?" tuntutku.

Dia tersenyum geli. "Pernah dengar istilah morning sick?"

"Entah. Mungkin aku pernah mendengarnya di suatu tempat, tapi malas mengingatnya. Jadi, paa morning sick itu?" Aku tak melepaskan pandanganku dari wajahnya sedikit pun, membuat dia gelisah di tempatnya. Itu bagus karena di harus tahu bahwa melewatkan sarapan dalam kondisinya yang sedang hamil itu adalah kesalahan.

"Saya tidak bisa menjelaskannya. Itu terlalu rumit dan sulit dimengerti."

Aku menaikkan kedua alisku. "Kau bermaksud berkata bahwa aku bodoh?"

"Sama sekali bukan." Dia tersenyum tipis, senyum yang membuat jantungku berhenti berdetak seketika.

Ya Tuhan! Bagaimana bisa sebuah senyum sederhana seperti itu membuatku tak berkutik.

"Lalu?" Aku bertanya dengan napas sedikit terengah. Ohh, ya, terengah! Karena aku harus mengerahkan segenap daya dan upaya agar bisa mengaktifkan seluruh sel di dalam tubuhku yang kaku.

Dia menunduk dengan bahu sedikit bergetar. Aku curiga dia tertawa. Apakah itu menertawakan aku? Apakah aku terlihat konyol dan bodoh di matanya?

"Itu semacam gangguan yang banyak dialami ibu hamil." Dia akhirnya menjawab tanpa menatap ke arahku, tetapi aku bisa menangkap sekilat bayangan sudut mulutnya yang terangkat. Fix, dia menertawakan aku.

"Apakah sindrom itu lucu sampai kau harus terus menahan tawa?"

"Maaf." Lila sedikit menunduk, sepertinya untuk menghindari bertatapan denganku. Hal itu membuatku gemas. Rasanya aku ingin menerjang maju, menyibak rambut yang berantakan di sekitar wajahnya karena tertiup angin, lalu memegang dagunya, memaksa agar dia tetap menatapku. Namun, sekuat tenaga aku harus menahan dorongan itu.

Ahh, andai saja saat ini tidak ada kakak ipar yang sedang melotot ke arahku.

Aku membuang napas dengan keras dan berdiri. Untuk menjaga kewarasan pikiranku, aku harus menjauh sementara waktu dari Lila. Pengaruh wanita itu terlalu kuat terhadapku. Aku tak tahu mengapa.

Aku berdiri di ujung depan kapal motor yang kami tumpangi. Pulau milik keluargaku hanya berupa titik kecil di kejauhan. Entah, berapa lama lagi kami tiba. Aku tak bisa memperkirakan karena aku tidak bisa mengemudikan kapal motor ini. Saudara kembarku memiliki lisensi untuk itu, tetapi aku tidak tertarik. Jadi, saat ini kami berangkat diantar salah seorang nahkoda Blackstone.

Sandaran HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang